REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menyatakan nikah siri menjadi salah satu sebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga.
"Telah banyak pembahasan yang mengungkapkan pernikahan secara siri atau pernikahan yang tidak dicatatkan berdampak buruk pada kehidupan rumah tangga. Bahkan nikah siri disebut sebagai salah satu penyebab kekerasan dalam rumah tangga," kata Kasubbid Perlindungan Hak Perempuan pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulteng Irmawati Sahi di Palu, Senin (4/6).
Saat merespons maraknya kekerasan terhadap perempuan, Irmawati Sahi menyatakan praktek nikah siri masih saja terus terjadi. Hal ini terlihat dari jumlah perceraian di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) mencapai 2.699 kasus, yang terdapat di sembilan pengadilan agama (PA) meliputi 13 kabupaten dan kota se-Sulteng.
Ia menyebut, perempuan jangan mau dinikahi secara siri, karena lebih banyak kerugian daripada keuntungan, apalagi bila hal itu hanya bersifat jangka pendek. Maka, pernikahan secara siri akan memberikan dampak terhadap perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian dan kesulitan mengurus akte kelahiran anak.
"Dampak tersebut merupakan ancaman yang akan dihadapi perempuan yang bila mau dan melakukan nikah secara siri," ujar Irma.
Ia menguraikan, berdasarkan data pendampingan yang dilakukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Sulawesi Tengah, bahwa setiap perempuan korban kekerasan dalam relasi nikah siri dan poligami siri mengalami kekerasan secara psikis/emosi/mental.
Dalam kasus kekerasan terhadap istri (KTI) yang disebabkan oleh poligami siri. Pernikahan kedua suami seringkali terungkap setelah berlangsung beberapa lama, bahkan tahunan. Sebagian besar poligami siri terjadi karena adanya hubungan antara suami dengan wanita lain, yang secara sengaja menyelingkuhi istri sah.
Parahnya lagi, urai dia, tidak semua perempuan yang dipoligami secara siri mengetahui bahwa pria yang menikahinya telah memiliki istri sah. Kekerasan biasanya mulai lebih sering terjadi setelah pernikahan sirinya terungkap oleh istri pertama maupun setelah korban mengetahui bahwa suaminya telah beristri atau bila istri minta suami untuk menikahinya secara sah.
"Hampir semua kasus kekerasan terhadap istri (KTI), poligami siri selalu berawal dari hubungan perselingkuhan yang dilanjutkan dengan nikah siri," ujar Irma.
Terkait Hal itu pakar pemikiran Islam modern IAIN Palu Prof H Zainal Abidin mengatakan Islam tidak mengenal nikah siri atau nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Islam, kata dia, mengenal poligami. Bahkan, poligami dapat dilakukan tanpa harus memohon atau mendapat izin dari istri. Namun, secara etika istri berhak mengetahui poligami yang dilakukan suami.
"Kalau setelah menikah lalu kemudian terjadi kekerasan dalam rumah tangga, maka itu adalah urusan lain. Bukan soal nikah," kata Zainal.
Ketua MUI Kota Palu ini menyebut sahnya nikah bukan pada pencatatan administrasi, tetapi bergantung pada syarat dan rukun nikah. Karena itu, pernikahan yang dilakukan dengan menjalankan seluruh syarat dan rukunnya, maka dapat dikatakn sah.
"Di Indonesia kenapa suami poligami seperti sesuatu yang bertentangan? sebenarnya tidak bertentangan secara agama, apabila dilakukan sesuai dengan anjuran agama. Namun, bertentangan secara norma dan budaya," ujarnya.