Senin 04 Jun 2018 11:15 WIB

Jadi Saksi Kasus KTP-El, Ketua DPR tak Penuhi Panggilan KPK

Sudah empat anggota DPR yang diperiksa KPK hari ini.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Muhammad Hafil
Ketua DPR RI - Bambang Soesatyo
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua DPR RI - Bambang Soesatyo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet), Senin (4/6), tak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi KTP-el. Bamsoet meminta KPK untuk menjadwal ulang pemanggilan terhadap dirinya.

Menurut Bamsoet, ketidakhadirannya karena ia baru menerima surat dari KPK pada Kamis sore pekan lalu dan malamnya dirinya diberitahu. Sementara itu, lanjutnya, Jumat dan Sabtu libur.

"Semoga ketidakhadiran saya dapat dimaklumi dan dipahami oleh teman-teman di KPK. Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya siap memberi keterangan yang dibutuhkan sebagai saksi sesuai dengan apa yang saya ketahui," ujarnya, Senin (4/6) pagi.

Bamsoet mengaku siap memenuhi panggilan KPK untuk menjadi saksi dalam kasus KTP-el. Ketidakhadirannya pada beberapa kali panggilan menurut dia karena adanya agenda bersamaan yang telah dijadwalkan jauh hari sebelumnya.

Baca juga: Setnov Janjikan Ini untuk Masa Depan Kasus KTP-El

"Kan akhir tahun lalu saya diundang, tapi berhalangan karena bertepatan dengan waktu Munaslub Partai Golkar. Hari ini pun saya ingin datang ke sana supaya cepat selesai keterangan apa yang dibutuhkan dari saya. Saya akan memberikan seluas-luasnya sejauh yang saya pahami, lihat, dan ketahui," kata Bamsoet menegaskan.

Ia pun mengaku sudah berkoordinasi dengan KPK untuk dibuatkan jadwal pemanggilan kembali dirinya. Pasalnya, dirinya juga harus segera menyelesaikan tugas kedewanan pada beberapa waktu tersisa jelang libur nasional.

"Sebagai ketua DPR tentu saya ingin memberikan contoh bagi masyarakat. Karena seseorang ketika dipanggil wajib untuk hadir, baik di KPK, kepolisian, termasuk di DPR," katanya.

Sementara itu, pada hari ini KPK juga memeriksa sejumlah anggota DPR. Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan, sampai saat ini sudah empat anggota DPR yang berada di lembaga antirasuah tersebut.

"Mirwan Amir, Agun Gunandjar, Melchias Markus Mekeng, dan Khatibul Umam sudah datang," kata Febri dalam pesan singkatnya, Kamis (4/6).

Baca juga: Ini yang Harus Dilakukan Setnov Enam Hari Pertama di Lapas

Keempat anggota DPR itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Irvanto Hendra Pambudi (IHP) dan Made Oka Masagung (MOM). Menurut Febri, dibutuhkan keterangan sejumlah anggota DPR untuk mengonfirmasi aliran dana dan proses penganggaran dana KTP-el. Selain itu, sambung Febri, beberapa saksi juga akan diklarifikasi terkait proses pengadaan. Sehingga, informasi yang dibutuhkan KPK dari para saksi beragam.

Irvanto telah ditetapkan sebagai tersangka bersama Made Oka, pengusaha sekaligus rekan Novanto, pada 28 Februari 2018 lalu. Irvanto diduga sejak awal mengikuti proses pengadaan KTP-el dengan perusahaannya, yaitu PT Murakabi Sejahtera.

Irvanto juga diduga ikut beberapa kali pertemuan di ruko Fatmawati bersama tim penyedia barang proyek KTP-el. Ia juga diduga telah mengetahui ada permintaan fee sebesar lima persen untuk mempermudah proses pengurusan anggaran KTP-el.

Irvanto diduga menerima total 3,4 juta dolar AS pada periode 19 Januari-19 Februari 2012. Uang diperuntukkan kepada Novanto secara berlapis dan melewati sejumlah negara.

Baca juga: Setya Novanto Berakhir di Penjara" href="http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/04/26/p7s8s6282-akhir-perjalanan-setya-novanto-berakhir-di-penjara">Perjalanan Setya Novanto Berakhir di Penjara

Made Oka adalah pemilik PT Delta Energy, perusahaan SVP dalam bidang investment company di Singapura. Ia diduga menjadi perusahaan penampung dana.

Made Oka melalui kedua perusahaannya diduga menerima total 3,8 juta dolar AS sebagai peruntukan kepada Novanto yang terdiri atas 1,8 juta dolar AS. Penerimaan melalui perusahaan OEM Investment Pte Ltd dari Biomorf Mauritius dan melalui rekening PT Delta Energy sebesar 2 juta dolar AS.

Made Oka diduga menjadi perantara uang suap untuk anggota DPR sebesar lima persen dari proyek KTP-el.

Keduanya disangkakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement