Senin 04 Jun 2018 05:43 WIB

Di UEA, Pekerja Asing adalah Kacung

Pekerja asing harus menghormati tradisi dan agama warga UEA.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Anda tentu sudah akrab dengan nama-nama berikut: Emirates, Etihad, Manchester City, Burj al Khalifa, dan Sheikh Zayed. Namun, tahukah Anda, semua nama tersebut identik dengan Uni Emirat Arab (UEA)?

Emirates dan Etihad, misalnya, merupakan dua maskapai penerbangan terkemuka dunia milik negara kaya di wilayah Teluk itu. Emirates hadir lebih dahulu, didirikan penguasa Dubai pada 1985, maju pesat sejak 2000-an.

Kini, hampir semua kota besar di dunia dilayani penerbangan yang berpusat di Dubai ini. Emirates dan Etihad menjadi lebih mendunia ketika berani beriklan besar-besaran dan menjadi sponsor klub-klub besar Liga Utama Inggris dan Spanyol.

Bahkan, stadion Arsenal (Inggris) pun berganti nama menjadi Stadion Emirates setelah Dubai meneken kontrak berdurasi 15 tahun sebagai sponsor atas pergantian nama itu.

Begitu juga dengan stadion milik Manchester City yang berubah nama menjadi Etihad Stadium sejak 2011. Tentu setelah maskapai yang berbasis di Abu Dhabi ini menggelontorkan sekian juta dolar AS sebagai sponsor.

Bukan hanya stadion. Manchester City atau the Citizens pun dibeli keluarga penguasa Abu Dhabi. Pembelinya Sheikh Mansour bin Zayed bin Sultan Al Nahyan, saudara Amir Abu Dhabi dan Presiden UEA Sheikh Khalifa bin Zayed Al Nahyan. Jutaan dolar AS pun ia gelontorkan untuk merekrut segudang pemain bintang ke klub Manchester City, termasuk pelatih top Pep Guardiola.

Dengan sendirinya nama Sheikh Mansour semakin berkibar sebagai investor kakap dunia, sekaligus mengangkat nama harum UEA. Apalagi ketika slogan Etihad “From Abu Dhabi to The World” benar-benar menginternasional lewat jersey pemain top dunia.

Kelahiran maskapai penerbangan Emirates pada 1980-an—disusul kemudian Etihad—menandai era modernisasi UEA. Modernisasi yang diawali dari ekonomi, yaitu bagaimana mendiversifikasi pendapatan negara.

Pada era 1980-1990-an hampir semua negara Teluk—UEA, Arab Saudi, Oman, Bahrain, Kuwait, dan Qatar—80 persen ekonominya mengandalkan minyak dan gas. UAE yang terdepan mendiversifikasi ekonominya di luar minyak.

Sektor jasa dan investasi pun mereka genjot. Dari penerbangan, properti/real estat, pelabuhan, keuangan, pariwisata, hiburan/liburan, komunikasi, hingga peternakan dan pengembangbiakan bibit unggul kuda asli Arab, dan banyak lagi.

Maka, dibangunlah berbagai properti di kota-kota besar UEA, terutama di Abu Dhabi dan Dubai. Dari mal, hotel berbintang, gedung perkantoran, hingga apartemen. Beberapa di antaranya bahkan sangat monumental.

Burj Khalifa di Dubai, misalnya, hingga kini masih merupakan bangunan tertinggi di planet bumi ini. Gedung multiguna berketinggian 828 meter ini mulai beroperasi pada 4 Januari 2010.

Ini belum termasuk Burj Arab yang merupakan hotel mewah di Dubai yang berketinggian 321 meter dan sejumlah pulau buatan, baik di Dubai maupun di Abu Dhabi. Pulau buatan yang di atasnya dibangun hotel-hotel mewah, resor, taman hiburan, sirkuit.

Bahkan, Masjid Sheikh Zayed di Abu Dhabi masuk dalam 25 besar landmark terbaik dunia. Masjid yang dibangun sejak tahun 2004 dan menghabiskan sekitar 2 miliar dolar AS itu dikunjungin sekitar 5 juta wisatawan asing setiap tahun.

Dengan diversifikasi sumber pendapatan negara itu, tidak mengherankan bila ekonomi UEA berkembang pesat. Pendapatan per kapita warga negara UEA termasuk tertinggi di kawasan Teluk, yakni sebesar 55.200 dolar AS.

Bandingkan dengan Bahrain yang 23.604 dolar, Kuwait 39.300 dolar, Oman 19.879 dolar, dan Arab Saudi 21.200 dolar AS. Bahkan, ekonomi UEA terbesar kedua di dunia Arab, setelah Arab Saudi, dengan pendapatan domestik bruto (PDB) 570 miliar dolar (2014).

Di antara sektor ekonomi itu, bidang jasa paling banyak menyerap tenaga kerja, yaitu 78 persen. Berikutnya industri (15 persen), pertanian (7 persen), dan menyusul sektor lain. Yang menarik, penggerak ekonomi UAE sebagaian besar adalah pekerja asing.

Jumlah mereka bahkan lebih dari lima kali lipat warga negara UEA sendiri. Sebagai informasi, jumlah penduduk UEA sebanyak 9,3 juta jiwa. Dari jumlah itu, hanya 15 persen yang berkewarganegaraan UAE, selebihnya adalah ekspatriat.

Yang perlu digarisbawahi, meski jumlah ekspatriat mayoritas dan menjadi penggerak ekonomi, mereka tetaplah kacung di UEA. Dalam arti mereka hanyalah pekerja atau sebutlah profesional. Semua pekerja asing harus mempunyai sponsor dan izin kerja.

Mereka diawasi ketat, termasuk izin tinggal. Mereka harus menghormati tradisi dan agama warga UEA. Setiap pelanggaran dikenakan sanksi berat, termasuk deportasi. Namun, mereka juga diberi kebebasan menjalankan keyakinan dan agamanya.

Menyadari beragamnya penduduk dan pentingnya keberadaan pekerja asing, Pemerintah UEA merasa perlu adanya kementerian toleransi (wizaratu at-tasamuh) untuk menjaga harmonisasi antarwarga.

Bahkan, karena pentingnya kementerian ini, menterinya pun dijabat keluarga penguasa UEA, yaitu Sheikh Nahyan bin Mubarak Al Nahyan. Di seluruh negara Arab dan bahkan Timur Tengah, hanya UEA yang mempunyai kementerian toleransi.

Kebijakan UEA tentang modernisasi dengan tetap menjaga tradisi dan kehidupan beragama (Islam) masyarakat tak lepas dari pendiri negara ini, Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan (1918-2004). Ketika saya berkunjung ke Abu Dhabi menjelang Ramadhan lalu, berbagai acara digelar untuk mengenang dan menghormati Sheikh Zayed.

Pada 1971, Sheikh Zayed dan penguasa (amir) Dubai, Sheikh Rashid bin Saeed Al Maktoum, menandatangani persetujuan untuk membentuk sebuah federasi antara Abu Dhabi dan Dubai. Segera setelah itu, terbentuklah Uni Emirat Arab yang merupakan federasi dari tujuh keamiran—Abu Dhabi, Dubai, Sharjah, Ajman, Ras al Khaimah, Fujairah, dan Umm al Qaiwain.

UEA merupakan monarki federal. Presiden pertama dijabat oleh Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan, sedangkan perdana menteri dipegang Sheikh Rashid bin Saeed Al Maktoum. Kini penguasa UEA sudah beralih ke generasi kedua.

Meski tidak ada undang-undang tertulis, presiden akan terus dijabat oleh Amir Abu Dhabi dan perdana menteri Amir Dubai. Abu Dhabi dan Dubai merupakan termaju ekonominya, terbanyak penduduknya, dan terluas wilayahnya.

Penguasa sekarang—Sheikh Khalifah bin Zayid Sultan al-Nahyan (presiden dan amir Abu Dhabi) dan Mohammed bin Rashid Al Maktoum (perdana menteri dan amir Dubai)—menempuh kebijakan pendahulu dan sekaligus pendiri UEA, antara lain diversifikasi ekonomi dan kesetaraan perempuan dengan laki-laki, termasuk yang menyangkut pendidikan dan lapangan kerja.

Bahkan, UAE memecahkan rekor dunia ketika pada 2016 mengangkat perempuan 22 tahun sebagai menteri pemuda. Dia adalah Shamma binti Suhail Faris Al Mazrui. Yang menarik, perempuan yang fasih berbahasa Arab dan Inggris ini terpilih sebagai menteri termuda di dunia setelah melalui seleksi ketat antarperguruan tinggi di UAE.

Kini, modernisasi model UAE—dengan tetap menjaga tradisi dan ketaatan pada ajaran agama—telah menjadi contoh bagi banyak negara Arab, termasuk bagi Saudi yang baru-baru ini memperbolehkan perempuan menyetir mobil serta menonton konser musik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement