Senin 04 Jun 2018 03:03 WIB

Teroris Pulang ke Kampus

Apa mahasiswa di sana tidak gerah ketika ruang mereka “dikuasai” alumni?

Reiny Dwinanda, wartawan Republika
Foto: Dokumen pribadi
Reiny Dwinanda, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*

Ketika mendengar berita penggerebekan teroris di Universitas Negeri Riau (Unri), pikiran saya langsung tersambung dengan pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) soal kampus-kampus negeri yang telah terpapar radikalisme. Operasi penangkapan terduga teroris di dalam kampus itu seolah memberi bukti atas klaim BNPT.

Begitu identitas terduga teroris yang ditangkap di Gedung Gelanggang Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Unri pada Sabtu (2/6) lalu terungkap, saya jadi mengernyit. Polisi mengidentifikasi mereka dengan inisial MNZ (33 tahun), RB alias D (34) dan OS alias K (32). Ketiganya ternyata sudah berstatus alumni dan memiliki pekerjaan.

Rupanya, dugaan saya tadi keliru. Ini bukan soal radikalisme di kalangan mahasiswa. Entah jika ketiganya sudah terpapar sejak masih kuliah.

Kasus Unri mengungkap sudut pandang terduga teroris tersebut terhadap almamaternya. Polisi menjelaskan ketiganya spesialis perakit bom. Pak Ngah, pimpinan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Riau konon pernah memesan bom kepada MNZ sebelum penyerangan Mapolda Riau.

MNZ dkk yang merupakan alumnus jurusan Pariwisata, Komunikasi, dan Administrasi Negara memilih "pulang" ke kampus belasan tahun setelah lulus dengan anggapan area ini aman dari endusan Detasemen Khusus 88 Antiteror. Di sana, mereka disebut merasa leluasa untuk mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bom berdaya ledak tinggi, Triaceton Triperoxide (TATP) atau yang lebih dikenal dengan nama Mother of Satan.

Menurut polisi, aktivitas ketiga terduga teroris itu sudah dipantau sejak dua pekan. MNZ dan OS alias K akhirnya dicokok di lingkungan kampus Unri, sementara RB alias D ditangkap di Desa Kampar, Kumbang, Kampar Riau.

Ketiganya diduga merencanakan bom bunuh diri di gedung DPR RI di Jakarta dan DPRD Riau. Dari penggerebekan di Unri, aparat menyita empat bom rakitan aktif, busur panah, senapan angin, dan bahan-bahan pembuat bom.

Sejumlah tanya kemudian muncul di benak saya. Para alumni yang sudah kepala tiga itu bisa dengan mudahnya masuk ke gedung yang menjadi sekretariat bersama seluruh lembaga kemahasiswaan FISIP Unri lantas mengubahnya menjadi tempat perakitan bom.

Kalau mereka tak punya akar kuat di kampus, keberadaan mereka tentu akan membuat mahasiswa keheranan. Buat apa MNZ, OS, dan RB datang? Terlebih, mereka sampai bermalam di penginapan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Sakai FISIP Unri sejak sebulan lalu.

Bagaimana pula ketiga alumnus Unri itu bisa punya akses untuk membuka ruang penyimpanan bahan-bahan kimia yang dibutuhkannya untuk merakit bom?

Saya yakin mahasiswa di sana tentu juga gerah ketika ruang mereka "dikuasai" alumni. Pastinya, MNZ dkk tak akan membiarkan barang-barang mereka terlihat oleh mahasiswa. Mereka tak akan mau membuka celah tangan usil juniornya mengusik bahan-bahan yang mudah meledak tersebut.

Sejumlah tanya itu saya pikir perlu dijawab untuk menjadi bahan introspeksi bagi civitas akademika Unri. Kampus-kampus lain juga dapat menjadikannya sebagai bahan pelajaran.

Di lain sisi, ada kekhawatiran pula yang muncul. Akankah satu kejadian itu membuka pintu bagi pengawasan ekstra ketat terhadap kampus-kampus?

 

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement