REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Bareskrim Mabes Polri menetapkan tiga orang yang ditangkap ketika penggeledahan di Universitas Riau pada Sabtu (2/6) sebagai tersangka. Ketiga tersangka tersebut bekerja dalam lingkup perakitan bom.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto menyatakan, tersangka memiliki kemampuan membuat bom Triaceton Triperoxide (TATP) atau yang lebih dikenal dengan nama Mother of Satan. "(Mereka) men-share cara pembuatan bom di link group Telegram," kata Setyo dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (3/6) malam.
Tersangka pertama yang diamankan, yakni MNZ (33 tahun). Ia merupakan eks mahasiswa Unri yang bekerja sebagai swasta.
Ia ditangkap di dalam Kampus Unri. Sesuai identitasnya di Kartu Tanda Penduduk, ia merupakan warga Lubuk Sakat, RT 8 RW 4, Lubut Sakat, Perhentian Raha, Kampar Riau.
Berikutnya, RB alias D (34) berpekerjaan swasta uang juga eks mahasiswa Unri. Ia ditangkap di Desa Kampar, Kumbang, Kampar Riau.
Lalu, OS alias K (32) berpekerjaan swasta yang juga mantan mahasiswa Unri. Ia ditangkap di Kampus Unri.
Awalnya, RB alias D dan OS alias K diamankan sebagai saksi. Namun, setelah dilakukan pengembangan, penyidik memutuskan menetapkan keduanya sebagai tersangka.
"Informasi terakhir yang saya terima dua orang saksi, sudah menjadi tersangka juga," kata Setyo.
Baca Juga: Polda Riau: Pak Ngah Pimpin Kelompok Teroris dari Riau
Setyo belum mau menjelaskan termasuk pada jaringan mana tiga terduga teroris tersebut. Menurut keterangannya, tiga terduga teroris tersebut akan melakukan diduga penyerangan terhadap kantor-kantor DPR RI dan DPRD.
Dalam penggeledahan yang dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik itu, penyidik tidak hanya menangkap tiga tersangka teroris. Polisi juga menyita sejumlah bom siap ledak dan bahan peledak.
Pascapengesahan UU Antiterorisme oleh DPR pada Jumat (25/5) lalu oleh DPR RI, Polri memiliki wewenang melakukan tindakan preventif yang bersifat represif berupa penangkapan. Artinya, Polri dapat melakukan penangkapan langsung dengan bukti yang kuat tanpa harus menunggu terduga teroris bergerak.
Dalam UU Antiterorisme tersebut, terdapat beberapa perubahan terkait teknis kepolisian. Perbedaan itu di antaranya perpanjangan masa penangkapan hingga masa penahanan.
Dengan demikian, kepolisian memiliki lebih banyak waktu untuk mengungkap jejaring teror. Termasuk dalam penangkapan sejumlah terduga teroris di Unri ini.
Masa penangkapan pun diperpanjang dari tujuh hari menjadi 14 hari. Masa penahanan bisa ditambah tujuh hari lagi, hingga seseorang terduga teroris ditetapkan menjadi tersangka kasus terorisme maupun dilepaskan karena kurang bukti.
Terkait masa penahanan, sebelum direvisi, masa penahanan seorang tersangka untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan hanya dapat dilakukan dalam waktu maksimal 180 hari atau enam bulan. Setelah direvisi, Pasal 25 UU Antiterorisme mengatur perpanjangan dengan total masa penahanan menjadi 270 hari atau 9 bulan.
Artinya, berkas tersangka bisa diproses polisi selama sembilan bulan sebelum dibawa ke kejaksaan untuk diadili. “Ini jauh lebih baik dibanding UU sebelumnya dalam hal masa penangkapan dan penahanan,” kata Setyo.
Baca Juga: Rektor Unri Apresiasi Penggerebekan Terduga Teroris