Sabtu 02 Jun 2018 05:09 WIB

Ramadhan di Bosnia

Suasana berbuka di pelosok mana pun di Bosnia terasa hidup dan meriah.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Asma Nadia

Sedih di hati

Dukanya kalbu

Saat mendengar kabar Bosnia…

Cuplikan nasyid di atas, sempat dibawakan grup akapela Snada pada tahun 1992. Lagu yang saya tulis tidak lama setelah pecah peperangan antara Bosnia dan Serbia. Selama tiga tahun, Kota Sarajevo yang dikepung tentara Serbia dari berbagai arah, dihujani bom setiap harinya.

Ungkapan kepedihan sebab saya sebagaimana kebanyakan masyarakat di dunia nyaris tidak mampu berbuat banyak, hanya menyimpan sesak menyaksikan luka-luka perang yang dihadirkan televisi.

Kemanusiaan tak memiliki sekat wilayah. Perang di mana pun, selalu menciptakan kesedihan bagi siapa saja yang menyaksikan. Terlebih bagi kaum Muslimin, sebab satu sama lain ibarat satu tubuh.

Ini menjelaskan kepedihan tak terkatakan yang kami rasakan ketika perang atau agresi dilancarkan di negeri-negeri, tempat kaum Muslimin berdiam.

“

Saya tidak tahu bagaimana ibu saya, yang memiliki tiga anak kecil-kecil bisa tidak kehilangan kewarasannya,” tutur Meliha, seorang Muslimah dari Bosnia yang di tubuhnya bersarang tiga serpihan granat saat berusia empat tahun kala perang Bosnia terjadi.

Masih banyak kisah kuatnya perempuan Bosnia, termasuk seorang ibu yang terlihat sangat tenang dan tidak kehilangan syukur walau sehari sebelumnya baru kehilangan tiga anaknya karena perang. Seperti diceritakan Sehija Dedovic, seorang aktivis Muslimah dan organisasi kemanusiaan, yang seperti Meliha, saya temui ketika Kementerian Pariwisata di sana melalui Bosnia Travels mengundang saya.

Bertepatan dengan hari ketiga puasa di Tanah Air, saya pun terbang ke Sarajevo, ibu kota salah satu pecahan Yugoslavia, yang paling banyak dilanda peperangan. Bahkan, Perang Dunia Pertama dipicu oleh pembunuhan Pangeran Franz Ferdinand pewaris takhta Austria-Hongaria, di jembatan Latin Bridge atau kini disebut juga jembatan Gavrilo Princip di Sarajevo.

Ketulusan dan selera humor yang baik, gambaran wajah masyarakatnya, saya catat dalam hati saat berjabat tangan dengan para Muslimah di sana dan berkenalan dengan banyak nama. Sebagai musafir, saya diperkenankan tidak berpuasa, tapi atmosfer Ramadhan yang kuat di Sarajevo menguatkan saya untuk tetap menunaikan ibadah Ramadhan.

Walau sahur berakhir lebih awal, sekitar pukul dua lebih 18 menit sampai dengan 30 menit, waktu iftar tidak hadir lebih dini. Sebaliknya, jarum jam harus menjejak angka delapan lewat 20-an menit sebelum dentuman meriam dari Yellow Fortress atau Benteng Kuning yang menjadi pertanda tibanya waktu berbuka di Sarajevo diperdengarkan. Sebuah tradisi yang juga disyiarkan langsung di televisi nasional setempat.

Kada dan Meliha, dua Muslimah berkulit putih dengan kerudung rapi tetap berpuasa saat menemani saya, juga selebgram dari Korea; Olaborasong dan Kuan Ju, traveler dari Taiwan, mendatangi tujuan-tujuan destinasi di sekitar Sarajevo, lanjut ke kota-kota lain seperti Konjic. Kota pertama yang dilewati saat memasuki wilayah Herzegovina ini menyimpan minaret masjid yang tertebas akibat perang.

Sekalipun sebagai penulis dan traveler, saya telah mengunjungi lebih dari 63 negara, tetap saja tertakjub-takjub mendapatkan beberapa fakta tentang Bosnia yang tidak saya ketahui sebelumnya. Pertama, keindahan alamnya bersaing, dari kejauhan bukit dan pegunungan hijau serta rumah-rumah yang terlihat mungil mengingatkan saya pesona pemandangan di Swiss.

Kedua, tidak banyak negara yang saya datangi memiliki sungai dan sumber air yang dengan meyakinkan bisa langsung diminum tanpa harus dimasak lebih dulu. Sungai Neretva di Konjic, lalu Sungai Buna di kota Blagaj, dan beberapa sungai lain, termasuk sumber air di salah satu taman yang terletak di tengah Kota Sarajevo.

Jarak waktu yang panjang antara sahur dan iftar, kian tidak terasa dengan suguhan alam yang amat mewah selama perjalanan. Saat tiba waktu shalat setiap masjid mengizinkan kami menaiki minaret mereka hingga puncak tertinggi dan melihat alam di sekitar yang terjaga keasrian dan menawan. Suasana berbuka di pelosok mana pun di Bosnia terasa sedemikian hidup dan meriah walau menurut beberapa orang ada yang hilang.

“Dulu setiap keluarga di tetangga kami akan bergiiran menyediakan tempat dan makanan berbuka, sekarang suasana berbuka pindah ke restoran dan kafé yang penuh hingga deret kursi terluar.” Hanya selama Ramadhan pula, Topa; terbuat dari susu dan aneka jenis keju akan dihidangkan bersama roti Bosnia, bukan hanya di rumah melainkan juga hotel-hotel berbintang.

"“Rasanya akan berbeda jika dibuat di luar Ramadhan," ujar Senad Biber, dari Bosnia Travels saat menjamu berbuka dengan makanan tradisional Borek dan Cevapi.

Suasana Old Town atau Kota Tua di Serajevo pun tidak berkurang sebaliknya semakin meriah setelah berbuka. Hanya keramaian kemudian sempat berpindah ke masjid, pada waktu shalat Magrib, lalu Isya berlanjut tarawih.

Gerimis tidak hanya menitik di pelupuk tetapi juga di hati, saat kaki juga bahu saya bertemu jamaah shalat di Masjid Gazi Huzrev Beg. Membayangkan sebuah negeri yang terluka, air mata dan tangis juga ketenangan yang pecah oleh bombardir bom dan senjata, kini rakyatnya mampu menikmati hidup damai, termasuk dalam beribadah.

Semoga sejuk yang sama akan segera dinikmati rakyat di negeri-negeri Islam yang tertindas, di belahan bumi Allah, di mana pun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement