Kamis 31 May 2018 11:15 WIB

Dimulainya Era Ekonomi Pro Stabilitas, Pro Pertumbuhan

Kenaikan suku bunga 7 Day Repo untuk memperkuat stabilitas rupiah.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo bersiap memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur tambahan di kantor pusat BI, Jakarta, Rabu (30/5).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo bersiap memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur tambahan di kantor pusat BI, Jakarta, Rabu (30/5).

REPUBLIKA.CO.ID   Oleh: Binti Sholikah, Elba Damhuri

Era kebijakan moneter bank sentral pro stabilitas, pro pertumbuhan berjalan beriringan telah dimulai. Sejumlah jurus taktis sudah disiapkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo untuk menjaga kuatnya stabilitas ekonomi namun pertumbuhan tetap memiliki pijakan untuk bergerak ke atas.

Kemarin, BI menggunakan instrumen suku bunga dengan menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reserve Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen. Keputusan itu diambil pada rapat dewan gubernur (RDG) bulanan tambahan, Rabu (30/5).

Kenaikan suku bunga ini dilakukan untuk mengantisipasi risiko eksternal, terutama kenaikan suku bunga acuan kedua the Federal Reserve pada 13 Juni 2018. Kenaikan suku bunga sudah diprediksi kalangan ekonom dan pelaku pasar.

Suku bunga dianggap perlu naik lagi untuk menahan laju penguatan dolar AS. Sebelumnya, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada RDG yang digelar 17-18 Mei 2018.

Baca Juga: Rupiah Meninggalkan Level 14 Ribu per Dolar AS

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, kebijakan kenaikan suku bunga merupakan langkah preventif BI. "Ini untuk memperkuat stabilitas, khususnya stabilitas nilai tukar terhadap perkiraan kenaikan suku bunga AS yang lebih tinggi dan meningkatnya risiko di pasar keuangan global," kata Perry dalam konferensi pers di gedung Bank Indonesia, Rabu (30/5).

Selain suku bunga acuan, BI juga menaikkan suku bunga deposit facility (DF) sebesar 25 bps menjadi 4 persen dan suku bunga lending facility dinaikkan sebesar 25 bps menjadi 5,50 persen. Keputusan tersebut berlaku efektif mulai 31 Mei 2018.

Perry menambahkan, Bank Indonesia meyakini kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan cukup baik dan kuat. Tekanan terhadap stabilitas sejak awal Februari lebih disebabkan tren kenaikan suku bunga AS dan meningkatnya ketidakpastian global akibat perubahan kebijakan AS dan sejumlah risiko geopolitik.

"BI akan terus mengalibrasi perkembangan baik domestik maupun global untuk memanfaatkan masih adanya ruang untuk kenaikan suku bunga secara terukur," katanya.

Keputusan kenaikan suku bunga tersebut, lanjutnya, merupakan bagian dari langkah kebijakan jangka pendek Bank Indonesia yang memprioritaskan kebijakan moneter pada stabilitas, khususnya untuk nilai tukar rupiah. Langkah-langkah tersebut, antara lain, respons kebijakan suku bunga akan tetap ditempuh secara preemptif dan front loading. Selain itu, BI tetap konsisten dengan upaya menjaga inflasi 2018-2019 agar terkendali sesuai sasaran 3,5 persen plus minus 1 persen.

Rupiah pada pengujung Mei 2018 sudah melewati batas psikologis Rp 14 ribu per dolar AS dengan level depresiasi di 3,9-4 persen (year to date/ytd). Pengetatan kebijakan moneter pada akhir Mei 2018 juga untuk mengantisipasi tekanan arus modal keluar yang bisa disebabkan ekspektasi pelaku pasar tentang kenaikan kedua kalinya suku bunga acuan the Fed.

Perry yang kerap mengampanyekan kebijakan moneter prostabilitas dan propertumbuhan menekankan dirinya ingin menerapkan kebijakan moneter yang antisipatif terhadap tekanan yang bisa mengganggu stabilitas perekonomian domestik.

Perry mengakui, ancaman arus modal keluar masih membayangi stabilitas pasar keuangan domestik. Sumber ancaman itu adalah kenaikan suku bunga the Fed yang diramalkan terjadi tiga sampai empat kali tahun ini, pelebaran defisit fiskal Pemerintah AS yang memicu kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS, dan dinamika geopolitik global.

Bank sentral juga mengatakan sedang menyiapkan relaksasi kebijakan makroprudensial di bidang pembiayaan perumahan dan pendalaman pasar keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. "Pendalaman pasar keuangan, terutama di bidang infrastruktur," ujarnya.

Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan, kenaikan suku bunga acuan akan memberi pengaruh kepada suku bunga kredit perbankan. Namun, dia meyakini, kenaikan suku bunga kredit tidak akan terjadi secara serta-merta dan dalam waktu cepat.

BI masih meyakini pertumbuhan kredit perbankan tahun ini di kisaran 10-12 persen (yoy). "Kita belum mengubah proyeksi pertumbuhan kredit," katanya.

Direktur Utama BTN Maryono mengatakan, BTN akan melakukan kajian terlebih dahulu dampak kenaikan suku bunga acuan BI terhadap kredit perseroan. "Yang pasti, kami sangat hati-hati dalam menaikkan suku bunga baik suku bunga dana maupun kredit," kata Maryono.

Bank jangan berlomba naikkan bunga

BI mengimbau perbankan agar tidak berlomba-lomba menaikkan suku bunga kredit setelah dua kali kenaikan suku bunga acuan BI 7-day reserve repo rate masing-masing sebesar 25 basis poin (bps). Perry Warjiyo mengatakan, Bank Indonesia memastikan kepada perbankan mengenai likuiditas rupiah dan valas dalam kondisi cukup. Menurutnya, tidak perlu ada suatu kekhawatiran dan muncul informasi mengenai likuiditas ketat.

"Kalau likuiditas cukup, tidak ada alasan perbankan untuk berlomba-lomba menaikkan suku bunganya. Oleh karena itu mestinya, suku bunga kredit tidak ada kenaikan," jelas Perry.

Terlebih, komitmen dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga akan memperkuat efisiensi di perbankan. Bank Indonesia akan berkoordinasi dengan OJK untuk memastikan kenaikan suku bunga acuan tidak perlu serta merta diikuti kenaikan suku bunga deposito atau suku bunga kredit. "Dan ini tentu akan mendukung intermediasi perbankan," kata Perry.

Baca Juga: IMF Nilai Langkah BI Naikkan Suku Bunga Sudah Tepat

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement