REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengusulkan rumusan baru terkait pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Undang-undang Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU RKUHP). Jika dalam rumusan sebelumnya, Pemerintah mengusulkan delik umum, namun dalam Rapat Panja RKUHP, Rabu (30/5) malam, pemerintah merumuskan pasal tersebut sebagai delik aduan.
Ketua Tim Panja Pemerintah Enny Nurbaningsih mengungkap usulan perubahan tersebut mengikuti dinamika pembahasan yang selama ini terjadi di Panja RKUHP antara Pemerintah dan DPR.
"Karena berdiskusi dan berkembang terus akhirnya membuat satu rumusan yang memang ini adalah bagian dari menjaga marwah demokrasi tetapi juga kita menjaga harkat dan martabat presiden, membedakan penghinaan dan kritik. Kalau pun toh ada kemudian deliknya aduan," ujar Enny di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5).
Meski delik aduan, Namun bukan berarti presiden dalam hal ini yang melaporkan penghinaan dirinya ke penegak hukum. Pihak yang dapat mengadukan adalah pihak yang mendapat kuasa dari presiden maupun wakil presiden.
"Tapi tidak presiden yang datang kemudian ke lembaga penegak hukumnya, tapi bisa kemudian pihak kuasa dari presiden," ujar Enny.
Ia melanjutkan, rumusan terkait pasal penghinaan presiden itu juga disesuaikan dengan putusan MK terhadap rumusan pasal sebelumnya di RKUHP. Ia juga membantah jika usulan perubahan delik umum menjadi delik aduan lantaran ada tekanan dari pihak lain.
"Bukan karena kita takut di bawah tekanan, tidak. Ini diusulkan demi kebutuhan besar bangsa kita dan tidak dibawa ke MK juga. Kita kan menjaga jangan sampai membuat rumusan itu jangan sampai ada kesan diskriminasi," ujar Enny.
Adapun pasal penghinaan presiden dalam RKUHP terdapat dalam pasal 238 berbunyi:
1. Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
2. Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
3. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
4. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaksanakan oleh kuasa presiden atau wakil presiden.
Adapun pasal ini pada pembahasan Panja sebelumnya sempat mengalami perdebatan oleh sejumlah anggota Fraksi dan Pemerintah. Hal ini karena usulan awal Pemerintah pasal tersebut merupakan delik umum, dan oleh beberapa fraksi meminta agar pasal penghinaan presiden diubah menjadi delik aduan.
Namun pihak Pemerintah saat itu bersikukuh beralasan bahwa penghinaan presiden dan wakil presiden juga mengacu pada pidana pasal penghinaan kepala negara asing di Indonesia yang juga delik umum, sehingga disejajarkan.