Ahad 27 May 2018 06:03 WIB

Narasi Welas Asih

Saat berhadapan dengan orang lain yang berbuat buruk sekalipun, kedepankan ihsan..

 Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Haedar Nashir

Ketika seorang Muslim yang berpuasa diajak bertengkar pada bulan Ramadhan, Nabi memberikan pesan luhur: katakan inni shaimun, aku sedang berpuasa. Sungguh betapa dahsyat ajaran puasa dalam mendidik rohani insan beriman agar mampu menunjukkan sikap ihsan sebagai kebaikan semesta.

Nabi Muhammad menemukan seseorang yang tengah memaki hamba sahayanya, padahal kala itu tengah berpuasa. Nabi lalu memberi orang itu makanan. Si fulan itu sungguh kaget dan berkata kepada Nabi, “Aku ini sedang berpuasa, ya Rasul”. Nabi kemudian menjawab, yang artinya, “Banyak orang berpuasa, tiada hasil puasanya kecuali lapar dan dahaga.”

Pernah pasca-Perang Uhud Nabi ditanya oleh para sahabat, “Ya Rasulullah, mengapa engkau maafkan dan mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang melukai di kala Perang Uhud?” Padahal, kala itu Nabi terluka sampai giginya pecah. Nabi pun menjawab, “Aku diutus bukan untuk melaknati orang, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat dan risalah dakwah.”

Nabi pun sosok pemaaf. Nabi bersabda, yang artinya, "Sesungguhnya Allah itu pemaaf dan suka memaafkan." Di lain hadis Nabi bersabda, "Barang siapa memberikan maaf ketika dia mampu membalas, maka Allah akan mengampuni dia di saat kesukaran." Beliau pun bersabda, "Bahwa orang yang memberikan maaf kepada orang yang menzaliminya karena mengharap ridha Allah maka Allah akan menambahkan kemuliaan kepadanya di hari akhirat.”

Penggalan kisah dan sabda Nabi itu membuktikan baginda Rasulullah meneladankan kepada umatnya ajaran kasih sayang atau welas asih terhadap sesama, meski pada orang yang dianggap musuh dan yang tidak disukai sekalipun. Orang Islam harus mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya, jangan menyakiti dan memperlakukan orang lain dengan kasar dan sewenang-wenang. Islam niscaya menghadirkan ajaran dan perangai kasih sayang!

Kasih sesama

Islam sesungguhnya agama kasih. Nabi bahkan diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya: 107), yang mengandung makna menebar kasih sayang yang melintasi. Jangankan terhadap sesama manusia, bahkan tehadap seluruh makhluk ciptaan Allah setiap insan Muslim niscaya memberikan kasih sayang. Dalam salah satu hadisnya Nabi bersabda, yang artinya, “Barang siapa yang mengasihi apa yang di bumi, maka yang di Atas akan mengasihimu.” Allah SWT bahkan memihak para hamba-Nya sejauh hamba-hamba itu mengasihi dan membela sesamanua.

Inilah ajaran mulia Islam tentang welas asih. Ajaran kasih sayang dalam Islam harus diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Pada suatu ketika, Ibnu Abbas menyampaikan wejangan bahwa Allah Yang Rahman dan Rahim memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar tatkala ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang berbuat jahil, dan memaafkan manakala ada yang berbuat buruk.

Jika setiap hamba melakukan perbuatan yang baik tersebut, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Mereka yang semula bermusuhan malah dapat menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik tersebut.

Islam harus membentuk perangai umatnya agar lurus dan lapang hati dalam menghadapi keadaan. Nabi bersabda, ahabbu al-din ila Allah al-hanafiyatu al-samhah, bahwa agama yang paling dicintai di sisi Allah adalah agama yang lurus dan lapang hati (HR Muslim dari Ibn Abbas). Makna sebaliknya, umat Islam jangan menampilkan perangai yang buruk dan kerdil diri, baik terhadap sesama seiman maupun terhadap mereka yang berbeda agama dan golongan. Tampilkan sikap lurus dan lapang hati sehingga wajah Islam sebagai agama welas asih hadir di hadapan sesama.

Dalam berdakwah dan menyikapi orang lain yang berbeda keyakinan sekalipun, sungguh terhormat manakala lurus dan lembut hati. Kelembutan hati jika tetap dilandasi kekuatan prinsip atas keyakinan Islam tidak akan menjadikan diri rendah atau kalah di hadapan orang lain. Allah bahkan mengajarkan kepada mukmin dan Muslim untuk berlemah-lembut sebagaimana firman-Nya dalam Alquran, yang artinya, “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS Ali Imran: 159).

Nabi dengan kekuatan prinsipnya juga memiliki sifat lemah lembut dan tidak kasar hati. Menurut al-Hasan al-Bashri, sosok sufi ternama, “Berlaku lemah lembut inilah akhlak Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang di mana beliau diutus dengan membawa akhlak yang mulia ini."

Mereka yang memiliki sifat membalas keburukan dengan kebaikan tentu memiliki kekuatan rohani kesabaran yang luar biasa. Menurut mufasir ternama Ibnu Katsir Abu Fida Ismail, “Bahwa yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yang menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa."

Lantas, untuk apa dan atas nama apa insan Muslim menjadi garang, keras, dan bersikap penuh amarah terhadap sesama? Termasuk bagi para pemimpin, mubaligh, penyebar risalah, serta sosok-sosok Muslim dan mukmin di mana pun berada dan dalam menyikapi banyak hal dalam berdakwah, mengapa harus kasar hati? Sejauh masih dapat lembut hati dalam menyikapi keadaan, maka ke depankanlah sikap dan perangai yang mulia itu. Kuat prinsip, murni akidah, dan sebagai penggerak Islam tidak harus garang dan keras hati sehingga nilai-nilai habluminannas makin luruh dan kering. Bukankah Nabi bersabda, "Aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak mulia."

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement