Sabtu 26 May 2018 00:40 WIB

Pengamat: Semoga UU Antiterorisme tidak Multitafsir

Harits menilai dengan adanya UU Antiterorisme tak langsung mengurangi jumlah teror

Rep: Mabruroh/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Revisi UU Terorisme. Menteri Yasonna Laoly (kedua kanan) menghadiri Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (25/5).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Revisi UU Terorisme. Menteri Yasonna Laoly (kedua kanan) menghadiri Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (25/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI akhirnya mengesahkan undang-undang Antiterorisme dalam rapat Paripurna di DPR, Jumat (25/5). Pengamat Teroris Harits Abu Ulya pun menyambut baik disahkannya UU Antiterorisme.

"Kita berharap frase-frase dalam definisi itu konstruksi redaksionalnya jelas, terukur, tidak ambigu dan tidak multitafsir," ujar Harits kepada Republika.co.id, Jumat (25/5).

Harist mengungkapkan, soal definisi yang sebelumnya sempat alot kini sudah terselesaikan. Namun di luar itu menurutnya masih ada pasal yang berpotensi melahirkan gugatan ke Mahkamah konstitusi (MK) dari komponen yang kontra terhadap substansi UU tersebut.

Misalnya, Harits mengungkapkan pada lamanya masa penahanan dan frasa radikal atau radikalisme. Bahkan sejatinya sambung Harits, suatu saat nanti UU tersebut pun bisa juga masuk kembali ke program legislasi untuk direvisi.

"Itu wajar karena isu dalam ruang politik keamanan memang sangat dinamis berkembangnya, jelas Harits.

Harist juga mengingatkan, bahwa dengan adanya UU Antiterorisme ini tidak secara tiba-tiba akan mengurangi jumlah teror di Indonesia secara drastis. Fenomena terorisme kata dia, akan tetap dengan kompleksitasnya.

Kompleksitas tersebut jelas Harits, misalnya pertama, faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidakadilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya.

Kemudian kedua, faktor internasional seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS), imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara super power, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya. Selain itu yang ketiga, adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif.

"Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme,"  paparnya.

Oleh karena itu, tambahnya menangani semua faktor tersebut tidak cukup hanya dengan UU. Dibutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif dari hulu sampai hilir serta obyektifitas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement