REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian sekaligus Analis Terorisme Noor Huda Ismail menegaskan, pendekatan lunak seperti budaya akan lebih memberikan solusi dalam menangkal paham radikal. Sebab, menurut dia, paham radikal tidak ditanamkan secara instan, melainkan melalui proses dan waktu yang cukup lama.
"Masa kecil saya pernah ada di kelompok itu. Proses being dia menjadi teroris. Jadi teroris itu memang melalui proses, jadi penanggulangan yang paling baik pun saya kira dengan soft approach,” kata Huda melalui Skype pada sebuah diskusi di Komnas HAM Jakarta, Kamis (24/5).
Dia menerangkan pendekatan lunak itu dapat dilakukan berbagai cara. Misalnya, kata dia, memproduksi sebuah film seperti yang seringkali dilakukan oleh komunitasnya.
Cara lainnya, yaitu membuka dialog maupun pendekatan lainnya. "Jadi gini, ketika ada aksi teror atau bom kita biasanya langsung heboh atau gimana. Coba deh, saat itu kita diam sejenak, pikirkan, apa sih yang mereka (teroris) lakukan kalau sedang tidak beraksi? Sama kan melakukan akvifitas seperti kita? Nah di sisi itu mestinya kita antisipasi," kata Huda.
Dia juga mengaku sependapat dengan Sydney Jones yang menyebut penyebaran radikalisme saat ini telah berevolusi. Media sosial, kata dia, memang tidak dimungkiri berpengaruh signifikan pada berbagai aspek kehidupan termasuk penyebaran radikalisme.
Dia menambahkan, sebelum adanya media sosial, peta penyebaran paham radikal cenderung mudah terdeteksi. Karena, ruang lingkup penyebaran paham radikal sangat terbatas.
Akan tetapi, setelah adanya media sosial, ajaran-ajaran atau doktin radikal itu bisa menyasar siapa saja, di mana saja dan kapan saja. “Pemerintah pun akan sulit mendeteksinya," tegas dia.
Karena itu, menurut dia, hukuman mati bagi terpidana teroris juga tidak lagi tepat. Dia mengatakan akan lebih baik teroris tersebut didekati dan dibina untuk kemudian membongkar jaringan lain.