Rabu 23 May 2018 09:03 WIB

Rupiah Pun Tembus 14.000-an

Pelemahan rupiah masih dipengaruhi sentimen global.

Rupiah Semakin Tertekan Dolar AS. Petugas menghitung mata uang Dolar AS di Cash Center Bank Mandiri, Jakarta, Selasa (8/5).
Foto: Republika/ Wihdan
Rupiah Semakin Tertekan Dolar AS. Petugas menghitung mata uang Dolar AS di Cash Center Bank Mandiri, Jakarta, Selasa (8/5).

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Ahmad Fikri Noor, Binti Sholikah

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih mengalami tekanan. Berdasarkan data Bloomberg, perdagangan rupiah kemarin dibuka di level Rp 14.165 per dolar AS dan ditutup di level Rp 14.142 per dolar AS menguat 48 poin atau 0,34 persen dari penutupan Senin (21/5) di level Rp 14.190 per dolar AS.

Sementara, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) di Bank Indonesia (BI), kemarin, nilai tukar rupiah ditetapkan sebesar Rp 14.178 per dolar AS. Nilai itu melemah dua poin dibandingkan posisi Senin (21/5) yang tercatat di level Rp 14.176 per dolar AS.

Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan, pelemahan rupiah disebabkan sentimen positif dari membaiknya perekonomian di AS. Ia memastikan, dampak dari fenomena penguatan dolar AS tersebut terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya.

Berbicara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/5), Agus menjelaskan, neraca transaksi berjalan Indonesia yang terus mengalami defisit menjadi faktor domestik yang selama ini membuat nilai tukar rupiah terus tergerus, selain karena tekanan ekonomi eksternal.

Agus dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa, mengakui sejak dia menjabat sebagai gubernur BI pada Mei 2013, hingga akan purnatugas pada 23 Mei 2018, nilai rupiah dibanding dolar AS telah melemah dari Rp 9.700 per dolar AS menjadi Rp 14.100 per dolar AS.

"Ini tidak bisa terhindar karena ada faktor kita sejak 2012 transaksi berjalan terus defisit," kata Agus.

Sejak Agus memimpin Bank Sentral pada 2013, defisit transaksi berjalan menembus 28 miliar dolar AS dengan lonjakan inflasi hingga 8,38 persen. Dua faktor itu pula yang membuat Agus, di awal kariernya sebagai pimpinan Bank Sentral, langsung menerapkan kebijakan moneter ketat.

Tahun ini, Agus memperkirakan, defisit transaksi berjalan Indonesia akan sebesar 23 miliar dolar AS atau 2,3 persen dari PDB. Di sisi lain, inflasi juga masih terkendali di bagian bawah sasaran inflasi BI dalam rentang 2,5-4,5 persen (yoy).

Neraca transaksi berjalan merupakan indikator untuk melihat pasokan dan permintaan valuta asing (valas) dari kegiatan perdagangan internasional (ekspor-impor) dan jasa suatu negara. Jika transaksi berjalan defisit, pasokan valas dari aktivitas tersebut tidak cukup untuk mendanai kebutuhan valasnya.

Pelemahan rupiah yang terus berlangsung tak pelak membawa memori kolektif masyarakat Indonesia ke situasi ekonomi Indonesia pada 1998. Ketika itu, rupiah bahkan melambung hingga melampaui level Rp 15 ribu per dolar AS. Apalagi, pada Senin (21/5), masyarakat memperingati 20 tahun reformasi.

Menanggapi hal itu, Agus menilai, kondisi sistem keuangan saat ini lebih baik daripada periode krisis pada 1998. "Kondisi kita sekarang baik dan tidak perlu dikhawatirkan," kata Agus saat ditemui di gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (21/5) malam.

Ia memastikan, fondasi sistem keuangan lebih kuat daripada 20 tahun silam. Salah satunya ditandai oleh tercukupinya cadangan devisa hingga mencapai 124,86 miliar dolar AS per April 2018. Selain itu, kondisi perbankan saat ini juga dalam keadaan terjaga, yang terlihat dari rasio kecukupan modal (CAR) pada kisaran 22 persen dan rasio kredit bermasalah (NPL) di bawah tiga persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement