Sabtu 19 May 2018 08:00 WIB

Terorisme, Negara, dan Hilangnya Akal Sehat

Hentikan memframing Islam atau agama sebagai biang terorisme.

Syukri Wahid, pegiat Sosial Politik
Foto: dok. Pribadi
Syukri Wahid, pegiat Sosial Politik

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Syukri Wahid *) 

 

Tiba-tiba saja kita dikejutkan peristiwa meledaknya tiga buah bom di Gereja  Surabaya yang dilakukan ole satu keluarga.  Seketika itu pula argo framming pemberitaan yang spekulatif mulai berseliweran di dunia maya. Ironisnya justru ada yang bermuara pada pembelahan suasana kubu politik menjelang Pilpres 2019. Maklum ini adalah tahun-tahun politik sehingga penumpang Indonesia harus kencangkan ikat pinggang lantaran turbulensi politik.

 

Di atas semua analisa, kita sepakat tindakan yang dilakukan oknum keluarga tersebut tak dapat dibenarkan apalagi menerimanya, apalagi sampai menggunakan dalil pembenaran agama. 

 

Agama apapun itu, apalah lagi Islam,  yang dari kata dasarnya saja berarti damai atau kedamaian. Islam terlalu sempurna menjelaskan perbuatan brutal tersebut. Dalam situasi darurat perang sebagai upaya pembelaan diri, Baginda Nabi SAW melarang untuk merusak rumah ibadah, membunuh musuh yang menyerah, orang tua, anak-anak, perempuan yang tidak melawan, bahkan pohon-pohon tak boleh ditebang.

 

Kalau dalam perang saja ada aspek kedamaian, bagaimana lagi jika dalam suasana damai? Upaya untuk menyeret Islam sebagai alat peneror sudah kelihatan, karena memang sang boomber menggunakan simbol-simbol agama, tapi itu bukan simbol Islam. 

 

Berhijab, bercadar, dan janggut adalah sunnah agama, tak ada hubungan dengan tindakan tersebut, seperti  yang membantai di belahan dunia lain juga ada yang tak memakai simbol serupa dan dari agama yang berbeda-beda. Jadi hentikan mem-framing Islam atau agama sebagai biang terorisme.

 

Bisakah kita tak kehilangan akal sehat? Bisakah kita kembalikan pada aturan kita bernegara? Kemudian  memandang dari kacamata hak kita sebagai Muslim dan warga negara, apakah salah?

 

Jangan terlalu sensitif dengan tuntutan hak warga, wajarlah mereka akan mengadu atau sampaikan kritik kepada Anda wahai tuan Presiden dan Polri? Sebab UUD 1945 dalam pembukaannya telah menyebutkan salah satu tujuan negara hadir adalah melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Dan sekarang, siapa yang sedang menjalankan roda pemerintahan itu?

 

Triliunan uang APBN untuk membiayai tindakan pencegahan terorisme kemana saja, apa sudah tepat sasaran? Bila kemudian diopinikan bahwa semua teror ini terjadi karena belum disahkan RUU terorisme. 

 

Lantas kejadian di Mako Brimob adakah hubungannya dengan RUU ini? Kenapa kasus di Mako tidak seterbuka dan detil seperti kasus di Surabaya dan lainnya. Adakah yang disembunyikan? 

 

Kita kehilangan nalar, padahal negara telah kehilangan kewajibannya melindungi warga negaranya, setiap darah di bumi Pertiwi ini telah dilindungi oleh konstitusi apalagi Agama. Tidak ada yang boleh merampas atau mengambilnya dengan cara-cara yang tak benar, disitulah negara harus hadir.

 

Bagaimana bisa terjadi di Mako Brimob sebagai tempat teraman, kenapa  malah kehilangan anggota-anggota terbaiknya yang gugur di dalam rumahnya sendiri. Kemudian disusul rangkaian bom yang menjalar dengan penyerangan Polres Surabaya dan Polda Riau. Ini adalah bukti alarm kemananan negara dalam antisipasi tindakan terorisme telah rusak sehingga tidak bisa dideteksi sejak dini.

 

Tuan Presiden, lindungi nalar sehat kami dalam berpikir dan berharap, sebab engkaulah sekarang orang yang telah diberi kekuasaan dari rakyat untuk menjalankan tugas negara. Berikan kami keamanan untuk meneruskan hidup secara berdampingan. Tanpa ada ketakutan lagi, tanpa ada penyudutkan terhadap agama kami, tanpa ada lagi masyarakat dan anggota keamanan yang gugur di tangan para penteror.  

 

Ini memang tahun politik, beban Anda semakin banyak, selain janji-janji kampanye yang harus engkau buktikan seperti pertumbuhan ekonomi 7 persen, buyback Indosat, tidak impor beras dan janji lain. Tapi nyatanya? Dan perihnya suasana bom oleh oknum jangan sampai terus membuat kita kehilangan nalar sehat, sebab relevansi janji, kerja dan harapan tak bertemu. 

 

Nyatanya engkau sekarang yang pegang kekuasaan, sekarang Presidennya adalah bapak tuan Jokowi. Tak mungkin kami menagih janji pada selain tuan, bukan?

 

*) Pegiat Sosial Politik

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement