Jumat 18 May 2018 04:07 WIB

Mengapa Harus Impor Beras Satu Juta Ton?

Impor beras dilakukan ketika para petani sedang menjalani panen raya.

Stock Beras Jakarta. Pekerja mengemas beras di Gudang PT Food Station Tjipinang Jaya, Jakarta, Rabu (16/5).
Foto: Republika/ Wihdan
Stock Beras Jakarta. Pekerja mengemas beras di Gudang PT Food Station Tjipinang Jaya, Jakarta, Rabu (16/5).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Lilis Sri Handayani, Melisa Riska Putri

CIREBON -- Keputusan pemerintah melakukan impor beras tambahan sebesar 500 ribu ton menuai kritik dari sejumlah pihak. Kritikan didasari oleh importasi kedua sepanjang tahun ini tersebut dilakukan pada saat masa panen di beberapa daerah masih berlangsung.

Bila impor beras kali kedua ini terlaksana, Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla mengimpor sekitar sejuta ton beras pada tahun ini saja. Protes keras disampaikan petani di sentra produksi beras Jawa Barat, yaitu Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu.

"Di tengah panen raya dan produksi yang meningkat, kok malah impor? Pantas tidak?" ujar Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indnesia (HKTI) Kabupaten Cirebon Tasrip Abu Bakar, Kamis (17/5).

Menurut dia, produksi petani di Kabupaten Cirebon pada saat panen sekarang rata-rata mengalami kenaikan sekitar 10 persen. Perinciannya dari 5,5 ton per hektare pada tahun lalu menjadi 6,1 ton per hektare pada tahun ini.

Di tengah panen raya saat ini, lanjut Tasrip, harga gabah petani terus mengalami penurunan. Untuk gabah kering giling (GKG), harganya kini Rp 4.400 per kg. Padahal, saat awal panen, harga GKG masih Rp 4.800 per kg.

Tasrip pun menyoroti kinerja Perum Bulog yang dinilai tidak berperan dalam menyerap gabah petani. Saat ini, gabah petani diserap oleh tengkulak/pengepul. Padahal, pengepul itu rentan mempermainkan harga gabah/beras di saat petani sudah tidak lagi memiliki stok gabah.

Tasrip juga menilai ada sistem yang mesti dibenahi dalam mata rantai penjualan beras. Dia mengatakan, dengan harga gabah di tingkat petani yang kini mencapai Rp 4.400 per kg, harga beras di pasaran semestinya Rp 7.500 per kg.

Namun, kenyataannya, harga komoditas andalan masyarakat Indonesia itu masih di kisaran Rp 10 ribu per kg. "Ada sistem yang harus diperbaiki, bukan dengan cara impor," kata Tasrip.

Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Indramayu Sutatang pun menolak dengan tegas impor beras yang kembali akan dilakukan pemerintah. "Sekarang sedang panen raya. Harga gabah petani juga turun terus," ujarnya.

Sutatang menyebutkan, harga GKG di tingkat petani di Kabupaten Indramayu saat awal panen mencapai Rp 5.000 sampai Rp 5.500 per kg, tetapi sekarang harganya turun menjadi Rp 4.800 per kg. Secara kuantitas, lanjut Sutatang, produksi panen petani meningkat dibandingkan tahun lalu. Dia menyebutkan, saat ini produksi panen bisa mencapai di kisaran 8,2 ton per hektare.

Selain itu, secara kualitas, hasil panen kali ini juga bagus karena didukung faktor cuaca dan relatif aman dari serangan hama. Impor beras yang dilakukan pemerintah sangat merugikan petani. Apalagi, petani sudah berusaha keras untuk menghasilkan produksi beras dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi meminta ada kejujuran tentang data pangan nasional. Sebab, sampai saat ini masih terjadi perbedaan data pangan, terutama data produksi dan konsumsi, antara Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Tidak ada sinergi antarkementerian terkait yang justru terjadi perang data pangan di internal pemerintah. "Kementan menyatakan terjadi surplus beras. Bahkan, untuk komoditas beras premium dan jagung telah ekspor. Tetapi anehnya, jika surplus beras, mengapa pemerintah impor dan impor beras 500 ribu ton lagi?" ujar dia saat dihubungi, Kamis (17/5).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement