Kamis 17 May 2018 11:48 WIB

Defisit Perdagangan dan Ekonomi yang tak Sehat

Dengan kondisi defisit perdagangan yang terus melebar, rupiah akan terus tertekan

Rep: Ahmad Fikro Noor, Idealisa Masyrafina/ Red: Budi Raharjo
Neraca perdagangan terus akami defisit. Truk membawa peti kemas dari Pelabuhan New Priok Kalibaru, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Neraca perdagangan terus akami defisit. Truk membawa peti kemas dari Pelabuhan New Priok Kalibaru, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Neraca perdagangan Indonesia pada April 2018 kembali mengalami defisit setelah sempat mengalakami surplus sebesar Rp 1,09 miliar dolar AS pada Maret lalu. Tercatat April lalu defisit mencapai 1,63 miliar dolar AS.

Sebelumnya pada Januari dan Februari, neraca perdagangan juga mengalami defisit sehingga sepanjang awal tahun ini total defisit telah mencapai 1,31 miliar dolar AS. "Di luar ekspektasi neraca perdagangan mengalami defisit 1,63 miliar dolar AS pada April 2018. Ini karena peningkatan impor yang sangat tinggi," ujar Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Selasa (15/5).

Impor pada April 2018 mencapai 16,09 miliar dolar AS. Suhariyanto menyebut, terjadi kenaikan signifikan yakni sebesar 11,28 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Jika dibandingkan April 2017 terjadi peningkatan 34,68 persen.

Menurut penggunaan barang, impor barang konsumsi April 2018 adalah sebesar 1,51 miliar dolar AS. Nilai impor itu mengalami peningkatan 25,86 persen secara bulanan dan 38,01 persen secara tahunan. Kendati demikian, porsi konsumsi dari total impor hanya sebesar 9,39 persen.

Sementara itu, impor bahan baku atau penolong yang memiliki porsi sebesar 74,32 persen dari total impor mencapai 11,96 miliar dolar AS pada April 2018. Angka itu meningkat 10,73 persen secara bulanan dan 33 persen secara tahunan.

Impor barang modal mencapai 2,62 miliar dolar AS pada April 2018. Angka itu naik 6,59 persen secara bulanan dan 40,81 persen secara tahunan.

Nilai ekspor April 2018 mencapai 14,47 miliar dolar AS atau menurun sebesar 7,19 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara, jika dibandingkan dengan April 2017, terjadi peningkatan ekspor sebesar 9,01 persen. "Ke depannya kita berharap ekspor lebih bagus dan impor bisa kita tahan sehingga kembali surplus," ujar Suhariyanto.

photo
Alat berat dioperasikan untuk bongkar buat peti kemas di New Priok Container Terminal One (NPCT1), Jakarta Utara, Jumat (13/4).

Defisit perdagangan dengan Cina melebar

Sejalan dengan kondisi itu, BPS mencatat defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Cina juga melebar. Sejak Januari hingga April 2018, defisit perdagangan dengan negara tirai bambu itu mencapai 5,76 miliar dolar AS. Defisit ini pun semakin lebar jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 4 miliar dolar AS.

Impor nonmigas dari Cina mengalami peningkatan terbesar pada April dibandingkan bulan sebelumnya yakni sebesar 858,4 juta dolar AS. Secara kumulatif Januari hingga April 2018, impor barang asal Cina mendominasi struktur impor Indonesia dengan porsi 27,28 persen atau senilai 13,92 miliar dolar AS.

Pelebaran defisit neraca dagang dengan Cina juga tercermin oleh penurunan ekspor nonmigas Indonesia. Pada April 2018, jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, ekspor ke Cina turun sebesar 537 juta dolar AS.

Penurunan ekspor itu yang terbesar dibandingkan ekspor ke negara lain. Kendati demikian, Cina masih menjadi destinasi utama ekspor Januari hingga April dengan nilai sebesar 8,16 miliar dolar AS atau 15,24 persen dari total keseluruhan.

Suhariyanto menyatakan, penurunan ekspor ke Cina disebabkan situasi perdagangan dunia yang masih bergejolak. "Situasi perdagangan dunia masih tidak menentu. Ada kecenderungan Cina menahan produksi makanya ekspor Indonesia agak tertahan," kata dia.

photo
Petugas menunjukkan uang dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung di Jakarta, Selasa (24/4). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Selasa (24/4), melemah hingga menyentuh level Rp13.900 per dolar AS.

Ekonomi tak Sehat

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan defisit perdagangan yang dialami Indonesia merupakan defisit terparah sejak 2014. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), defisit neraca perdagangan pada April 2014 mencapai 1,96 miliar dolar AS.

"Transaksi berjalan juga defisit -2,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pertumbuhan ekonomi stagnan di 5 persen, konsumsi rumah tangga juga stagnan di 4,95 persen. Ini menunjukan ekonomi tidak sehat," ujar Bhima kepada Republika.co.id, Rabu (16/5).

Defisit neraca perdagangan membengkak terutama disebabkan karena impor migas sepanjang Januari-April 2018 menjadi 9 miliar dolar AS, lebih tinggi 700 juta dolar AS dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Impor migas tumbuh 40,8 persen (yoy) terkait efek kenaikan harga minyak mentah dunia.

Sedangkan impor bahan baku dan impor barang modal yang naik, kata Bhima, lebih disebabkan oleh kebutuhan proyek infrastruktur pemerintah bukan karena kebutuhan industri manufaktur. "Infrastruktur itu juga bukan dari investasi kan, tapi utang. Ini sebenarnya tidak sehat," kata Bhima.

Sementara itu, Bhima melihat paket-paket kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah tidak efektif mendorong sektor industri. Respons kebijakan moneter juga menurutnya sangat lambat, karena bunga acuan BI 7 Day Repo Rate tidak dinaikkan.

"Kondisi ini tentunya tidak sehat bagi perekonomian. Meningkatnya impor membuat permintaan dolar naik signifikan. Akibatnya rupiah diprediksi terus melanjutkan pelemahan hingga Juni," ujar Bhima.

Bhima memperkirakan nilai tukar rupiah dapat mencapai lebih dari Rp 14 ribu per dolar AS pada akhir tahun. Rupiah tercatat sudah menembus Rp 14 ribu per dolar AS sejak 8 Mei 2018, berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia.

"Rupiah masih belum bisa ditopang sentimen dalam negeri. Ini akan menyebabkan cadangan devisa terus tergerus. Dari awal tahun sudah tergerus 7 miliar dolar AS," kata Bhima.

Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, peningkatan impor merupakan dampak dari pertumbuhan investasi di Indonesia. "Artinya, kalau proyek infrastruktur dan kemudian proyek-proyek investasi swasta lain yang noninfrastruktur yang memang pertumbuhannya meningkat, itu pasti butuh barang modal dan bahan baku," ujar Darmin di Jakarta.

Darmin mengatakan, investasi terus menunjukkan peningkatan pertumbuhan. Pada kuartal pertama 2018, pertumbuhan investasi tecatat sebesar 7,95 persen (yoy). "Dari segi perkembangan ekonomi artinya positif. Karena investasi berjalan, baik investasi swasta maupun investasi dalam bentuk infrastruktur," ujar Darmin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement