REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai maraknya aksi teror yang melibatkan perempuan karena masih adanya relasi dan hierarki gender yang timpang. Hierarki yang disertai doktrin kepatuhan ini melemahkan posisi tawar perempuan di tengah budaya maskulin dalam lingkaran jaringan kelompok radikal.
"Terlepas bahwa ada kerelaan karena dorongan keyakinan, namun keterlibatan mereka tidak bisa dilepaskan dari hirarki gender ini," kata Komisioner Komnas Perempuan Adriana Venny melalui siaran pers, Selasa (15/5).
Komnas Perempuan mencatat, dalam berbagai peristiwa terorisme di Indonesia, sejumlah perempuan ditangkap sebagai pelaku. Saat ini, sebagian sedang menjalani proses pengadilan dan sebagian lainnya sedang menjalani hukuman akibat tindak pidana terorisme.
Pada 2016, setidaknya ada dua perempuan yang tertangkap terkait aksi teror. Yakni, seorang gagal melakukan aksi pengeboman di istana dan seorang lainnya ditangkap di Purworejo karena terindikasi akan melancarkan aksi bom bunuh diri di luar Jawa.
Aksi pengeboman di Surabaya adalah kasus pertama pelaku perempuan yang melakukan aksi bunuh diri. Dalam melakukan aksi teror, perempuan tidak sendiri melainkan bersama keluarganya.
Melihat gejala ini, Komnas Perempuan khawatir tren perekrutan perempuan menjadi pelaku bom karena dua asumsi. Yakni, asumsi bahwa perempuan berpotensi lebih militan dan mampu dimanipulasi agar tidak mudah dicurigai untuk alasan keamanan.
Selain itu, kelompok teroris juga memanfaatkan peran perempuan sebagai ibu. Sebagai ibu, perempuan punya posisi strategis untuk mentransmisikan ideologi radikal dan mempersiapkan anak-anak menjadi martir.
Komisioner Komnas Perempuan lainnya Khariroh Ali menyebutkan temuan dalam program tinjau ulang di wilayah-wilayah pascakonflik di Indonesia untuk konteks 20 tahun reformasi. Temuannya, konflik dengan kekerasan mewariskan dan mengajari budaya kekerasan pada bangsa ini.
"Penyelesaian konflik yang tidak tuntas, para pelaku yang impun, tidak adanya pemulihan bagi para korban konflik, ternyata menjadi ladang subur tumbuhnya paham-paham radikalisme," kata Khoriroh.
Selain itu, Komnas Perempuan juga menjelaskan dampak bom Bali dan bom JW Marriot Jakarta terhadap korban perempuan. Komnas Perempuan menerima pengaduan perempuan korban bom Bali dan membuat konsultasi dengan perempuan korban terorisme pengeboman di JW Marriot Jakarta.
Komnas Perempuan menyebut pada kedua tragedi tersebut, aksi terorisme berdampak panjang bagi kehidupan perempuan korban. Dampak tersebut seperti trauma yang dalam, menjadi disabilitas, keretakan keluarga, dan kekerasan seksual oleh pasangan karena kerusakan fisik.
"Mereka juga mengalami hancurnya kehidupan ekonomi, dipaksa menjadi single parent mendadak sehingga merapuhkan masa depan anak-anak, bahkan ada yang menjadi korban trafficking di luar negeri, karena harus menyelamatkan ekonomi keluarga paska pengeboman," kata dia.