REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pengamat politik internasional, Arya Sandhiyudha menilai menyalahkan intelijen dalam beberapa kejadian terorisme terkini kurang tepat. Pemerintah di negara-negara maju di dunia biasanya memiliki kebijakan kontraterorisme yang berfokus pada empat hal, yaitu pencegahan, pengejaran, perlindungan, dan kesiapsiagaan.
"Intelijen umumnya fokus pada pencegahan dan pengejaran. Namun di Indonesia kewenangan mereka di dua fokus itu belum penuh," kata Arya kepada Republika.co.id, Selasa (15/5).
Badan Intelijen Nasional (BIN) di Indonesia bukan satu-satunya yang berperan dalam fungsi pencegahan. Ada kementerian dan lembaga nonkeamanan nasional yang juga wajib berperan mengatasi penyebab terorisme di dalam dan luar negeri.
Sejak 2011, pengawasan orang asing di Indonesia sangat lemah. Ini karena fungsi tersebut tidak lagi dikelola lembaga dengan kapasitas intelijen yang memadai setelah dilimpahkan ke lembaga yang hanya bersifat administratif.
Aktor keamanan nasional, termasuk intelijen di berbagai negara secara efektif berwenang untuk menangkap para teroris. Kewenangan ini tidak didapatkan di Indonesia.
Pemerintah Indonesia, sebut doktor lulusan Istanbul University Turki ini di dalam negeri bertujuan membuat negara lebih aman, membuat pencurian identitas lebih sulit, dan membatasi akses sumber keuangan teroris.
"Keterbatasan peran intelijen dalam kontraterorisme perlu hati-hati dipahami," kata Arya. BIN sebagai koordinator intelijen nasional, sebut Arya juga mencatat banyak keberhasilan.