REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teroris perempuan berasal dari berbagai latar belakang. Psikolog Universitas Indonesia yang mendalami masalah terorisme, Mira Noor Milla, mengatakan ada dua hal yang menjadi kesamaan perempuan yang rentan direkrut menjadi teroris.
"Intinya adalah ketika dia merasakan butuh untuk memperoleh peran bermakna dan dia sendiri punya pengalaman sebagai orang yang gagal," kata Mira, Ahad (13/5).
Menurut Mira, tak ada figur tunggal yang mampu menggambarkan sosok teroris perempuan secara general. Sebagian dari mereka perempuan cerdas, berprestasi, dan patuh kepada orang tua. Namun, mereka tidak menemukan sosok orang tua yang patut diteladani dalam hal beragama.
"Mungkin dia bisa berprestasi juga, ada yang berprestasi, tapi orang tuanya enggak paham agama. Ada yang orang tuanya enggak pernah shalat," tutur Mira.
Mereka berusaha mengoreksi pemahaman orang tuanya agar beribadah sesuai dengan keyakinan agamanya. Tak semua berjalan mulus. Mereka yang tak mampu mengajak orang tuanya beribadah merasa gagal.
Ada pula perempuan yang memang memiliki masalah sejak di bangku pendidikan. Kegagalan mereka di bangku sekolah membuat mereka merasa tak mempunyai peran apa-apa. Padahal, masa ini merupakan fase seseorang membutuhkan peran bermakna.
Mira mencontohkan pelaku peledakan bom panci di depan Istana Negara, Dian Yulia Novi. Perempuan asal Bekasi ini disebut memiliki masalah pribadi dengan keluarganya. Keluarganya dianggap kurang Islami dibandingkan standar akidah yang Ia yakini.
Dalam pencarian spiritualnya, Dian merasa bimbang. Ia khawatir, kedekatan dengan keluarganya justru akan merusak akidahnya. Ia takut akan dipengaruhi oleh keluarganya. Dalam hati, Dian tak ingin dekat dengan keluarganya untuk mempertahankan akidah yang diyakininya. Namun, hal ini sulit diwujudkan, sebab pada kenyataannya ia masih dekat dengan keluarga.
"Sedih, ya dia (ingin) membawa mati akidahnya supaya (akidah itu) bisa bertahan sampai akhir hidupnya," ujar dia.
Dalam kekosongan identitas, perempuan menjadi rentan dimasuki ideologi radikal. Kekosongan identitas ini yang dipenuhi oleh kelompok teroris. Melalui pernikahan, perempuan teroris mendapatkan figur mentor untuk memperkuat keyakinannya. Ideologi itu mengarahkan mereka untuk memiliki tujuan. Dengan menikah, ruang keraguan yang mungkin masih ada menjadi tertutup.
"Enggak ada lagi alternatif lain bahwa apakah saya harus seperti ini atau nggak, jadi seandainya dia nggak ada konflik batin dan sebagainya, itu akan ditetapkan oleh dia sendiri untuk terus konsisten di jalan itu," ujar Mira.