REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel meminta pelaku aksi teror, termasuk bermodus bom bunuh diri seperti di Surabaya, Jawa Timur meskipun tewas selayaknya tetap disidang. Ini disebut sebagai persidangan pascakematian pelaku atau posthumous trial, post-mortem trial.
Menurutnya, mekanisme progresif berupa post-mortem trial patut dikenakan atas kebiadaban pelaku kejahatan semacam itu. Ia menegaskan, siapa pun tidak boleh mengajak anak melakukan kekerasan dan melakukan kekerasan terhadap anak.
Ia menerangkan posthumous trial adalah jalan agar pelaku secara pidana sah dan meyakinkan divonis bersalah. "Lewat persidangan semacam itu, negara membuktikan bahwa kematian bukan merupakan jalan buntu untuk mengejar pertanggungjawaban pelaku," ujarnya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Ahad (13/5).
Terlebih karena yang bersangkutan atau pelaku menyertakan anak-anak dalam misi iblisnya serta menjatuhkan anak-anak sebagai korbannya, maka setidaknya Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak pun dapat diterapkan. Karena itu, iameminta negara tetap memburu pelaku sampai ke liang lahat.
Kematian pelaku bukan gerbang bagi yang bersangkutan untuk menjadi martir, melainkan justru pintu baginya untuk dicap sebagai terpidana aksi teror. Vonis bersalah yang dijatuhkan melalui posthumous trial juga bagian dari keadilan yang diidamkan para korban dan masyarakat. Ini juga menjadi bukti bahwa negara berpihak pada korban.
"Selain itu, hukuman dan penghinadinaan atas diri pelaku oleh masyarakat bukan sebatas sanksi sosial, tetapi justru merupakan dendam yang terinstitusionalisasi secara legal," katanya.