REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat terorisme, Al Chaidar, mengatakan pengeboman yang terjadi di Surabaya itu sebenarnya masih terkait dengan peristiwa di Markas Komando (Mako) Brimob, Depok, pada tanggal 8-10 Mei lalu. Ini terindikasi karena ada seorang narapidana kasus terorisme yang mengeluarkan seruan untuk menyerang Mako tersebut.
‘’Jadi apa yang terjadi sekarang ini merupakan respons dari seruan jihad itu. Seruan itu oleh pelakunya, Aman Abdurrahman, belum dicabut. Kala itu dia keluarkan dua seruan, pertama menyerang Mako Brimob dan berdamai setelah itu. Nah, untuk yang berdamai sudah dilakukan, tapi seruan melakukan serangan belum dicabut,’’ kata Al Chaidar, di Jakarta, (13/5).
Al Chaidar mengatakan, melihat rangkaian peristiwa yang terjadi belakangan ini, tampaknya kasus seperti ini akan berlanjut. Apalagi ini akan masuk ke dalam bulan Ramadhan, di mana dalam kitab fiqh mereka bulan Ramadhan itu saatnya melakukan penyucian jiwa.
‘’Tak ada jalan lain, pemerintah dan semua pihak harus waspada. Sayangnya negara malah terlihat gamang. Presiden juga gamang untuk selesaikan soal payung hukum kepada Polri yakni berkaitan dengan Revisi UU Terorisme. Bahkan terkesan ada sikap antimiliter karena oleh para akitvis HAM revisi UU Terorisme itu dianggap berbau militerisme, yakni adanya pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme. Saya pun bisa faham karena memang Pak Presiden kan orang sipil,’’ tegasnya.
Dari pantauan Al Chaidar, seruan untuk ‘datang’ ke Mako Brimob itu sudah tersebar dan disambut berbagai ‘simpul’ di banyak daerah.”Saya pantau sudah disambut di Medan. Sudah ada 57 orang dari Jawa Barat yang datang ke Mako Brimob. Dari Bogor 40 orang, 71 orang dari Jawa Tengah, 101 orang dari Jawa Timur, 13 orang dari Bima. Dari Medan juga sudah ada."
“Jadi kejadian di Mako Brimob hingga bom di Surabaya bukan kejadian sederhana,’’ tegas Al Chaidar.