Sabtu 12 May 2018 20:06 WIB

Pakar: Hilangkan Stigma terhadap Penderita Kusta

Di Indonesia, masalah terbesar yang dihadapi penderita kusta adalah stigma.

Aksi damai memperingati hari kusta internasional di Jakarta (ilustrasi).
Foto: Antara/Fikri Adin/c
Aksi damai memperingati hari kusta internasional di Jakarta (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar kesehatan kulit Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND) Semarang Dr. dr. Renni Yuniati, SpKK meminta masyarakat untuk menghilangkan stigma negatif terhadap penderita kusta. Label negatif itu merupakan salah satu masalah terbesar yang masih dihadapi penderitanya.

"Di Indonesia, masalah terbesar yang dihadapi penderita kusta adalah stigma," katanya saat menjadi pembicara pada Semarang Progress in Emerging and Re-emerging Infectious Diseases (Speed) 5, di Semarang, Sabtu (12/5).

Menurut dia, stigma terhadap penderita kusta harus dihilangkan agar mereka bisa terbuka menyelesaikan pengobatan untuk mengobati penyakitnya yang berlangsung antara sembilan bulan sampai 1,5 tahun.

Ia mencontohkan ada satu pasien di sebuah keluarga yang dalam satu rumah tidak mendukung pengobatan atas penyakit kusta yang dideritanya sehingga hanya berobat ke apotik dan toko obat.

"Akhirnya, pasien ini berada dalam kondisi kecacatan yang cukup parah akibat penyakitnya dan tidak berdaya. Makanya, saya ingatkan untuk tidak memberikan stigma negatif terhadap penderita kusta," katanya.

Renni menjelaskan penyakit kusta sebenarnya bisa diketahui dari deteksi awal, yakni munculnya bercak putih atau merah yang terasa tebal dan mati rasa yang menunjukkan kecacatan di syaraf.

"Sebetulnya, munculnya bercak putih atau merah yang mati rasa itu warning bahwa ada proses pemutusan syaraf. Segera periksakan ke dokter, jangan cuma membeli obat di apotik," wantinya.

Untuk masa penyebaran penyakit kusta, kata dia, bergantung atas daya tahan tubuh, tetapi jika tidak diobati maka akan tumbuh terus hingga menyebabkan kondisi yang parah, yakni kecacatan.

"Sampai saat ini, Indonesia masih menempati ranking ketiga penderita kusta setelah India dan Brazil. Tidak pernah turun rankingnya. Artinya, ada satu masalah, yakni kondisi gen," katanya.

Diakuinya, ada satu gen tertanda yang bisa tertular kusta sebagaimana banyak terdapat di India dan Brazil yang mengartikan keturunannya yang kemungkinannya lima persen dari 100 orang.

"Genetik yang tertanda bisa menular hanya lima persen. Penularannya bukan lewat suntikan atau darah, tetapi dari udara. Pemerintah harus menyadarkan masyarakat atas gejala dini kusta," katanya.

Yang jelas, Renni mengatakan stigma yang selama ini sudah melekat terhadap penderita kusta harus dihilangkan agar mereka yang terdiagnosis kusta tidak malu menjalani pengobatan.

"Kusta ini penyakit menular, bukan penyakit metabolik atau penyakit kronis yang bisa dialami," kata Kepala Bidang Humas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa Tengah tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement