Sabtu 12 May 2018 18:48 WIB

Ambang Batas Dapat 'Bunuh' Parpol yang Kini Punya Kursi

Ambang batas parlemen naik jadi empat persen dengan 16 parpol yang bertarung.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Direktur Perludem Titi Anggraini
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Direktur Perludem Titi Anggraini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan umum (Pemilu) 2019 dinilai akan menjadi pertarungan luar biasa bagi partai politik (parpol) karena berlakunya ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar empat persen. Angka ambang batas itu dapat "membunuh" partai yang sekarang masih memiliki kursi di parlemen atau pejawat.

“Ambang batas (parlemen) kita naik jadi empat persen," ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (12/5).

Pada Pemilu 2019, Titi menerangkan, bukan hanya persentase ambang batas parlemennya saja yang naik, tetapi jumlah parpol peserta pemilu yang menjadi 16 partai. Dengan demikian, dia menilai, suara akan terdistribusi ke sejumlah partai. 

Dengan terdistribusinya suara, ia berpendapat, akan sulit bagi parpol peserta Pemilu 2019 untuk mencapai ambang batas parlemen empat persen. “Peluangnya jadi kecil. Suara dari partai lama akan mengalir ke partai baru," kata Titi.

Apalagi, dia menerangkan, pemilih cenderung memilih partai yang mengusung calon presiden idola mereka masing-masing. "Ambang batas empat persen ini menjadi bunuh diri bagi partai yang awalnya sudah masuk ke parlemen sebelumnya," kata dia. 

Terkait kenaikan ambang batas, ia menjelaskan, pada Pemilu 2009, ambang batas parlemen masih sebesar 2,5 persen dengan jumlah parpol sebanyak 38 parpol. Pemilu tersebut akhirnya melahirkan sembilan parpol di parlemen. 

Pada Pemilu 2014, ada ketidakpuasan dengan angka ambang batas itu lantaran parpol yang ada di parlemen dianggap terlalu gaduh. Dia menerangkan kegaduhan karena terlalu banyak fraksi dalam pengambilan keputusan.

"Pada 2014 ambang batas (parlemen) jadi 3,5 persen untuk DPR RI. Dengan hanya 12 parpol, malah naik jumlahnya di parlemen menjadi 10 parpol," katanya.

Berdasarkan penyelenggaraan pemilu pada empat tahun lalu, Titi pun menilai, penyederhanaan parpol di parlemen bukan sekadar mengatur persentase ambang batas parlemen. Ia menilai, faktor yang turut berkontribusi dalam penyederhanaan parpol, yakni besaran daerah pemilihan (dapil), alokasi kursi di dapil, atau konversi suara menjadi kursi. 

"Ambang batas efektif mengurangi jumlah partai dan berkontribusi membuat suara terbuang. Pemilih sudah capek-capek memilih, tetapi parpol yang tidak lolos ke ambang batas parlemen, suaranya terbuang dan tidak terhitung," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement