Jumat 11 May 2018 17:10 WIB

Ini Penjelasan Penyebab Letusan Freatik Merapi dari BPPTKG

Letusan freatik Merapi pada Jumat pagi diyakini tidak akan memicu erupsi magmatik.

Sejumlah tim evakuasi gabungan melintas dijalur pendaki Gunung Merapi dengan berlatar belakang Gunung Merbabu di Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (11/5).
Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Sejumlah tim evakuasi gabungan melintas dijalur pendaki Gunung Merapi dengan berlatar belakang Gunung Merbabu di Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (11/5).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menyatakan, letusan freatik yang terjadi di Gunung Merapi, Jumat (11/5) pagi, dipicu oleh tekanan dari akumulasi gas dan uap air. Akumulasi tekanan itu kemudian mendorong material vulkanis sisa erupsi 2010.

"Uap air dan gas terakumulasi kemudian mendobrak sisa material yang ada di dalam Gunung Merapi," kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, Hanik Humaida di Kantor BPPTKG Yogyakarta, Jumat.

Menurut Hanik, letusan freatik yang memicu kepulan asap tebal setinggi 5,5 kilometer dari Gunung Merapi itu hanya terjadi selama lima menit. Saat erupsi, suhu udara mencapai di puncak gunung mencapai 80-90 derajat celsius sejak terpantau muncul pada pukul 07.40 WIB.

"Asapnya warnanya putih karena yang diembuskan berupa uap air dan abu. Abu itu karena adanya material-material lama yang terdorong adanya gas dari dalam tadi," kata dia.

In Picture: Pendaki Tertangkap CCTV Masih Berada di Gunung Merapi.

Berbeda dengan letusan magmatik pada 2010 yang dipicu aktivitas magma dari perut Merapi, menurut dia, letusan freatik hampir tidak bisa diprediksikan sebelumnya dengan berbagai peralatan kegunungapian yang dimiliki BPPTKG saat ini. Hal itu, menurut dia, karena sangat singkatnya gejala awal (prekursor) dengan letusan yang ada sehingga tidak bisa terdeteksi.

Bahkan, kata Hanik, mengacu data rekaman seismik Gunung Merapi tidak menunjukkan kenaikan secara signifikan. Selain itu, rekaman CCTV yang terpasang di bibir kawah Gunung Merapi juga tidak menunjukkan perubahan morfologi pada puncak salah satu gunung teraktif di Indonesia tersebut.

"Mudah-mudahan dengan teknologi ke depan kita bisa membangun teori-teori yang membuat kami bisa memprediksi (letusan freatik)," kata dia.

Menurut dia, hingga saat ini letusan freatik sudah terhitung tujuh kali sejak erupsi besar pada 2010. Letusan freatik tersebut juga tidak memiliki pengaruh atau memicu erupsi magmatik.

Setelah letusan freatik pada Jumat pagi, Hanik memperkirakan tidak akan ada letusan atau erupsi susulan. Menurut dia, saat ini suhu udara di Puncak Gunung Merapi telah kembali normal pada posisi 40-50 derajat celsius. "Setelah ini tidak ada tahapan apa-apa, sudah tenang dan tidak ada erupsi susulan," kata dia.

Meski saat ini kondisi Gunung Merapi sudah berstatus aktif normal, menurut dia, diimbau tetap waspada meski tidak perlu panik. BPPTKG juga tetap mengimbau kepada masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas apapun di radius 2 kilometer dari puncak Gunung Merapi. "Karena selama ini saat status normalpun kami meminta tidak ada aktivitas dengan jarak 2 kilometer dari puncak," kata Hanik.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement