Rabu 09 May 2018 09:42 WIB

Siapa Diuntungkan dari Pelemahan Rupiah?

pelemahan nilai tukar rupiah memicu investor, terutama asing, melakukan rebalancing.

Konsumen menukarkan mata uang asing di jasa penukaran uang asing Valuta Artha Mas ITC Kuningan, Jakarta,Kamis (26/4). Nilai tukar rupiah rebound pada perdagangan Kamis (26/4), Rupiah di tutup menguat 0,22% ke posisi Rp 13.891 per dolar AS, setelah dibuka di level Rp 13.919 per dolar AS.
Foto: Prayogi/Republika
Konsumen menukarkan mata uang asing di jasa penukaran uang asing Valuta Artha Mas ITC Kuningan, Jakarta,Kamis (26/4). Nilai tukar rupiah rebound pada perdagangan Kamis (26/4), Rupiah di tutup menguat 0,22% ke posisi Rp 13.891 per dolar AS, setelah dibuka di level Rp 13.919 per dolar AS.

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Ahmad Fikri Noor

JAKARTA -- Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suahasil Nazara menilai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belum mengkhawatirkan. Ia menyebut tekanan terhadap kurs justru bisa memberikan dampak positif pada APBN.

Kendati demikian, pemerintah tetap mengantisipasi dampak pelemahan kurs terhadap perekonomian. "Yang terjadi kalau kurs lebih lemah dari yang diasumsikan di APBN adalah kita akan memiliki penerimaan yang lebih tinggi dari pengeluarannya," ujar Suahasil di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (8/5).

Dalam asumsi dasar ekonomi makro APBN 2018, kurs rupiah ditetapkan sebesar Rp 13.400 per dolar AS. Sementara, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, nilai tukar rupiah mencapai Rp 14.036 per dolar AS.

Suahasil menjelaskan, pengeluaran yang terkait kurs adalah subsidi BBM serta pembayaran pokok maupun bunga utang. "Tetapi, kalau neto antara pengeluaran dan penerimaan, maka efeknya masih lebih tinggi penerimaannya. Jadi, kalau dari sisi pengelolaan APBN, tidak ada hal yang mengkhawatirkan," ujar Suahasil.

Ia mengakui, pemerintah akan tetap mengamati kondisi perekonomian secara luas terkait dampak kurs. Variabel ekonomi makro lain seperti inflasi dan neraca keuangan BUMN, ujarnya, juga terus menjadi perhatian. "Perekonomian kita bukan hanya APBN. Kalau kurs naik maka harga barang impor akan meningkat. Nah, itu bisa berdampak ke inflasi," ujarnya.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), posisi utang pemerintah per akhir Maret 2018 mencapai Rp 4.136 triliun. Komponen utang dalam denominasi valuta asing (valas) 109 miliar dolar AS dengan kurs Rp 13.750 per dolar AS. Apabila stok utang valas yang sama dikonversi dengan kenaikan Rp 100 per dolar AS, maka total stok utang naik Rp 10,9 triliun.

DJPPR pun yakin perubahan nilai tukar akan memengaruhi pembayaran kewajiban utang, yakni membayar pokok dan bunga utang. Dalam perincian DJPPR, pada 2018 utang jatuh tempo mencapai Rp 394 triliun dan pada tahun depan Rp 420 triliun. Dengan begitu, total beban pokok dan bunga utang Rp 814 triliun.

Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai pelemahan nilai tukar rupiah memicu investor, terutama asing, untuk melakukan strategi penyesuaian kembali atau rebalancing aset sahamnya. Hal tersebut menahan indeks harga saham gabungan (IHSG) untuk bergerak di area positif.

"Saya kira mereka sedang melakukan rebalancing sekaligus mengukur faktor risiko dari pergerakan currency yang ada," ujar Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat di Jakarta, kemarin.

Di tengah kondisi itu, menurut dia, tentu akan ada sedikit gejolak di pasar. Namun demikian, BEI yakin dengan performa kinerja emiten di dalam negeri yang terus mengalami pertumbuhan setiap tahun akan dapat menjaga kepercayaan investor terhadap pasar modal domestik.

Ia mengharapkan pemerintah dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sehingga tidak membuat khawatir investor dan pelaku usaha. "Yang penting fluktuasinya stabil, yang jadi masalah kalau fluktuasinya terlalu tajam, itu akan memengaruhi investor, bukan hanya asing, melainkan lokal juga," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement