REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar, Wartawan Republika
Di Prafi pada dekade 1990-an, masyarakat Papua Barat masih bisa menikmati pemandangan beragam burung. "Ada burung taun taun, kakatua putih, nuri, cendrawasih, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi," ujar Sekretaris Daerah Papua Barat Nataniel D Mandacan, di Jakarta, Senin (30/4).
Prafi merupakan distrik di Kabupaten Manokwari, berjarak sekitar 60 km di sebelah barat kota Manokwari. Wilayah ini merupakan lokasi transmigrasi pada 1980-an. Di wilayah ini pula kemudian ada kebun kelapa sawit, setelah izin HPH dihentikan.
Per 2016 tercatat ada 24 konsesi perkebunan sawit dengan luas 329.174 hektare –yang telah beroperasi 111.915 hektare. "Dari jumlah itu hanya enam perusahaan yang aktif," ungkap Kepala Balitbangda Papua Barat, Charlie Heatubun.
Menurut Nataniel, Pemprov Papua Barat tengah meninjau ulang status perizinannya. Karena menurut dia, kepala sawit tidak memberi perubahan berarti untuk masyarakat asli Papua.
"Kita perlu kaji, cocok tidaknya dengan lokasi dan perlu tidaknya diperpanjang atau disetop," ujar Nataniel.
Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan mengakui ada banyak investor yang ingin membuka lahan di Papua Barat. Namun, ia lebih mementingkan kemauan masyarakat Papua.
"Dulu main tebang begitu saja, sekarang semua yang dibangun harus lewat izin, jika masyarakat mendukung, kita terbuka untuk buka kawasan," ujar Dominggus.
Buka hutan di Papua Barat tergantung kebutuhan. Untuk membangun jalan, membuka hutan menjadi keharusan. Jalan, menurut Dominggus, diperlukan untuk menghubungkan masyarakat pinggiran di gunung-gunung.
Namun ia memastikan jika pembukaan hutan akan memperhatikan kelestarian hutan. Jika kawasan itu harus dijaga, tak akan diperbolehkan dibuka, jika kawasan itu bisa dimanfaatkan, bisa untuk dibuka.
Maka, penting bagi Papua Barat untuk meminta insentif anggaran kepada Jakarta terkait dengan pelestarian hutan di Papua Barat ini. Papua Barat mempunyai mimpi hutan tetap hijau dan masyarakat bisa hidup di dalamnya, tetapi tetap sejahtera.
Nataniel menyebutkan indeks pembangunan manusia Papua Barat terendah bersama Papua. Modal alam berlimpah, tetapi tak ada uang. "Jangan sampai hutan Papua Barat menjadi paru-paru dunia, tetapi rakyat kami sengsara," kata Nataniel.
Saat ini, APBD Papua Barat mencapai Rp 7,2 triliun. Ada dana khusus tapi ditransfer ke kabupatan-kabupaten untuk insfrastruktur. Anggaran untuk hutan diakui Nataniel masih kecil. Maka, status Papua Barat sebagai provinsi konservasi memerlukan dukungan anggaran khusus dari Jakarta.
"Supaya rakyat rasakan hutan sebagai haknya, maka kita cetuskan provinsi konservasi," ujar Dominggus.
Papua Barat layak mengambil langkah ini, sebab 50 persen keranekaragaman hayati Indonesia disumbang oleh Papua dan Papua Barat. "Keadaan hutan dan lingkungan alam Papua juga masih relatif baik, 70-80 persen wilayah Papua Barat masih tertutup hutan, hutan bakaunya terluas, terumbu karang terkaya," ungkap Sekretaris Tim Kerja International Conference of Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy (ICBE) 2018, Yance de Fretes.
Yance menyebut saat ini sudah ada penurunan angka deforestasi di Papua Barat. Analisis citra satelit 2010-2014 memperlihatkan laju deforestasi telah turun menjadi 2,48 persen.
"Pada periode 2000-2003, laju deforestasi tutupan hutan primer mencapai 7,67 persen," ungkap Yance.