Ahad 06 May 2018 04:00 WIB

Politisi tanpa Kursi

Hendaklah politik dimaknai sebagai pemenuhan dan pelaksanaan berbagai urusan rakyat.

Nindira Aryudhani, Relawan Opini dan Media, Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur
Foto: Dok Istimewa
Nindira Aryudhani, Relawan Opini dan Media, Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nindira Aryudhani *)

 

Politik detik ini memang identik dengan kursi, yakni kursi jabatan. Entah itu anggota dewan legislatif, kepala daerah, menteri, pun kepala negara. Semua partisipan alias bakal calon seolah wajib berebut kursi kala agenda pemilihan telah digelar dalam pesta demokrasi.

 

Sejatinya, politik tak hanya perkara kursi. Tak juga sebatas memilih pemimpin. Namun, politik memiliki makna yang lebih berwibawa. Karena itu, hendaklah politik dimaknai sebagai pemenuhan dan pelaksanaan berbagai urusan rakyat. Agar sistem yang tegak, memang tampak sebagai sebuah tata aturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

 

Pasalnya, tidak demikian rupanya politik dalam demokrasi. Meniscayai kapitalisme, demokrasi tak ubahnya sarana imperialisme ekonomi. Segala sesuatu dinilai dengan nominal materi. Beragam sektor kebutuhan rakyat dimakelarisasi dalam bentuk proyek infrastruktur dengan metode tenderisasi kepada pihak swasta. Swastalah sang pemilik modal. Siapa yang menang tender, dialah yang menggarap proyek yang bersangkutan.

 

Sungguhlah, proyek-proyek ini menyangkut hajat hidup kerakyatan. Hajat hidup masyarakat luas yang semestinya ditangani dalam wujud pengelolaan terbaik. Karena konteks politik telah menjadikan mereka pemimpin/penguasa. Maka ketika terpilih, sudah sepatutnya mereka memberikan usaha-usaha maksimal untuk mengurusi urusan rakyat banyak. Bukan malah menyelingkuhi rakyat dengan menadah modal dari para pengusaha swasta tadi. Masalahnya, dalam benak pemilik kapital, tidak ada makan siang gratis (no free lunch). Bahwa apa-apa yang telah mereka investasikan, pastilah mereka ingin meraih laba sebesar-besarnya. Sekedar balik modal saja itu tak cukup.

 

Sayangnya, demikianlah adanya ketika politik menjadi alat kapitalisasi. Makna asalnya sebagai pengelolaan berbagai urusan rakyat kian tersamarkan, bahkan tertutupi. Rakyat pun makin terbutakan dengan konsep politik kerdil. Yaitu dengan pemahaman sebatas memilih pemimpin. Selesai perkara.

 

Politik sesungguhnya bicara konsep makro tentang tata aturan kehidupan yang mengikat seluruh rakyat di suatu wilayah, agar urusan-urusan rakyat bisa ditangani melalui pelaksanaan aturan tersebut.

 

Politik tak melulu berebut kursi. Bisa-bisa saja menjadi politisi tanpa kursi selama sang politisi teraktualisasi mandatnya akan urusan rakyat. Karenanya, tidaklah para politisi hari ini layak jika lebih membela pemangku modal alias memakelarisasi proyek-proyek kerakyatan demi tender swasta. Jika ada politisi yang demikian, maka sungguh ketika telah terpilih/berkuasa ia hanya akan menambah panjang daftar imperialisasi ekonomi dari para pemilik kapital terhadap rakyat.

 

*) Relawan Opini dan Media, Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur, E-mail: [email protected], [email protected] 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement