Jumat 04 May 2018 04:30 WIB

Masih Mau Menjadi Guru?

Nasib berliku bahkan tragis para guru di republik ini bukan mitos, tapi realita.

Satriwan Salim
Foto: dok. Pribadi
Satriwan Salim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satriwan Salim *)

 

Pertanyaan pada judul di atas sebenarnya saya tujukan untuk dua (2) kelompok. Pertama, para siswa kelas XII yang baru lulus dan akan mengambil program studi kependidikan di perkuliahan nantinya. Kedua, bagi mahasiswa keguruan yang saat ini tengah berkuliah di kampus yang dikenal dengan sebutan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK). 

 

Kampus mana saja yang masuk kategori LPTK? Yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan eks IKIP yang mulai 1999 berganti nama menjadi Universitas, semisal Universitas Negeri Jakarta atau Universitas Negeri Medan dan lainnya. Para mahasiswa yang berkuliah di eks IKIP ini pada umumnya adalah mahasiswa kependidikan yang nanti ketika lulus berhak menyandang gelar sarjana pendidikan (SPd).

 

Ini pertanyaan serius dan substantif yang saya ajukan kepada kelompok anak muda di atas. Benar masih mau menjadi guru? Apakah sudah siap secara mental untuk mengikuti proses pendidikan yang berliku. Sebab, sebelum lahirnya UU Guru dan Dosen, para sarjana pendidikan lulusan IKIP sudah “otomatis” berhak menjadi guru. Sebab selain dibekali ijasah dari kampus, pun mereka mendapatkan Akta IV sebagai “SIM” untuk mengajar di sekolah.

 

Saat ini, setelah keluarnya peraturan di bawah UU Guru dan Dosen No 14 tahun 2005, seperti PP tentang Guru No 19 tahun 2017, Permendikbud tentang Program Pendidikan Profesi Guru Prajabatan No 87 tahun 2013 serta Permenrisetdikti tentang Standar Pendidikan Guru No 55 tahun 2017. Bahwa untuk menjadi guru sebagai sebuah profesi, maka seorang lulusan sarjana pendidikan (SPd) mesti mengikuti kuliah Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama setahun. Inilah yang dikenal dengan PPG Prajabatan. Selesai kuliah selama  setahun, jika lulus seorang sarjana pendidikan tadi dapat sertifikat pendidik dan berhak menjadi guru dengan titel Gr.

 

Apakah setelah lulus kuliah sekitar empat tahun (dengan titel SPd) ditambah kuliah plus praktik mengajar setahun (bergelar Gr, sah sebagai guru profesional), seorang Gr tersebut langsung mengajar dan ditempatkan oleh pemerintah di sekolah? Jawabannya TIDAK. Mereka juga harus berjuang mencari pekerjaan menjadi guru di sekolah-sekolah, di tengah kompetisi sengi, sebab lulusan LPTK berjibun tiap tahunnya.

 

Ratap Ki Hajar Dewantara tentang nasib guru honorer

 

Seandainya pun mereka para guru profesional ini (bertitel Gr) ini diterima di suatu sekolah, apakah perjuangan berhenti di sini? Jawabaannya tunggu dulu! Tiap sekolah apalagi sekolah swasta punya kemampuan yang berbeda dari aspek keuangan. Wilayah Indonesia yang sangat luas, ada daerah tertinggal, terluar dan terdepan (3T), kemampuan daerah pun beragam. Jadi, akan ada guru-guru yang bernasib tragis, bergaji minimalis, honor yang horor walaupun setumpuk beban tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa ada di pundaknya. Statusnya adalah guru honorer dengan upah yang horor.

 

Sudahlah perjuangan meraih titel SPd dan Gr berliku, diterima menjadi guru, tapi digaji sangat tidak laik. Bahkan sampai kini, di Hari Pendidikan Nasional 2018, masih ada guru yang dapat honor Rp 35 ribu per bulan. Bahkan, kami dari FSGI, pernah bertemu seorang ibu guru dari NTB yang menyampaikan keluh-kesahnya kepada Komisi X DPR-RI. Beliau mengajar sudah lebih 17 tahun, berstatus honorer dan diupah sebesar Rp 50 ribu per bulan. Apakah ini penghargaan yang manusiawi untuk seorang guru, di Hari Pendidikan Nasional yang tiap tahun kita rayakan? Seandainya Ki Hadjar Dewantara masih hidup, saya yakin beliau akan meratapi nasib tragis guru di republik ini!

 

Ketidakadilan yang dirasakan oleh para (calon) guru yang lainnya adalah, peraturan tentang PPG khususnya yang prajabatan (karena ada juga PPG dalam jabatan). Para lulusan SPd yang kuliah (4-6 tahun) di kampus bekas IKIP, tak otomtais lagi bisa menjadi guru profesional. Sebab, harus ikut kembali kuliah PPG selama setahun. Nah, persoalannya PPG Prajabatan ini juga “dibuka” bagi sarjana nonkependidikan, karena aturannya memang demikian. Artinya seorang lulusan Fakultas Ekonomi bertitel SE berhak menjadi guru ekonomi dengan cukup mengikuti PPG Prajabatan selama setahun. Sama dengan SPd yang notabene sudah menempuh kuliah kependidikan, selama 4-6 tahun belajar pedagogis, tetapi disamakan dengan SE untuk mengikuti perkuliahan kependidikan dalam program PPG tersebut. 

 

Jika menganalogikan guru itu profesi yang sama dan setara seperti dokter atau advokat, mari kita lihat praktik nyata peraturannya. Seseorang jika ingin menjadi dokter profesional, mesti meraih gelar SKed di Fakultas Kedokteran terlebih dulu. SKed belumlah dokter profesional. Karena masih sarjana, bukan profesi. Nah, seorang SKed tadi wajib kuliah dan praktik (lazim disebut KOAS) selama dua tahun. Jika lulus tes, maka SKed yang sudah lulus KOAS ini berhak menyandang gelar dr (dokter) dan menjadi dokter profesional. Pertanyaannya, apakah seorang dengan gelar SPd berhak mengikuti KOAS karena ingin menjadi dokter profesional? Jawabannya: Ya gak mungkilah!

 

Kemudian, jika ingin menjadi advokat profesional, harus terlebih dulu kuliah dan lulus SH dari Fakultas Hukum. Lalu ditambah kuliah dan tes advokat yang diselenggarakan lembaga profesi. Jika lolos, maka SH tersebut berhak menjadi advokat profesional.  Pertanyaannya, apakah seorang dengan gelar S.Pd berhak mengikuti kuliah dan tes karena ingin menjadi advokat profesional? Jawabannya: Ya gak mungkin jugalah!

 

Kenapa tidak bisa? Sebab, menjadi dokter profesional disyaratkan harus lulusan SKed dan menjadi advokat profesional syarat wajibnya haruslah lulusan SH.

 

Sekarang, pertanyaannya dibalik. Apakah seorang sarjana bertitel SH, ST, SKed, ,dan lainnya bisa dan boleh menjadi seorang guru profesional? Jawabannya: Ya sangat Bisa! Bagaimana caranya? Cukup seorang bertitel SH mengikuti PPG Prajabatan selama setahun, bareng dengan mereka yang sudah kuliah kependidikan bertahun-tahun yang bergelar SPd itu, bersama-sama menjadi guru profesional, dengan titel Gr.

 

Apakah fakta di atas adil bagi mereka yang nota bene bertitel SPd alias sarjana pendidikan yang sudah belajar seluk-beluk kependidikan atau pedagogis selama 4-6 tahun? Karena sama-sama ingin menjadi guru. Nampaknya seorang lulusan LPTK bergelar S.Pd dipandang rendah dan sebelah mata oleh negara, karena belum laik menjadi guru. PPG Prajabatan itu mestinya khusus bagi sarjana pendidikan! Tidak dibuka bagi SH, SE, SKed, ST atau sarjana lainnya. Karena para SPd pun tak bisa mengikuti program profesi advokat, dokter, akuntan atau insinyur.

 

Nasib berliku bahkan tragis para guru di republik ini bukan mitos, tapi realita. Semenjak kelahirannya para sarjana pendidikan sudah dipersulit. Eksistensi sekolah guru atau LPTK ini patut juga dipertanyakan. Mau dibawa kemana LPTK yang dulu secara eksklusif menghasilkan calon guru. Saat ini para SPd bersaing ketat dengan sarjana lainnya menjadi guru profesional. Apakah mungkin lulusan bertitel SE, SH, ST atau SIP berlomba-lomba ingin menjadi guru juga? Ya mungkin saja, di tengah makin sulitnya pekerjaan dan persaingan dengan para pekerja asing yang melimpah-ruah masuk mencari makan di negara kita ini.

 

 

*) Pengajar di Labschool Jakarta-UNJ dan Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia/FSGI), email: [email protected] 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement