Selasa 01 May 2018 05:07 WIB

Polemik Gema Suara Azan

Sudah semestinya bunyi azan perlu dipancarluaskan hingga keluar masjid.

Seorang muazin saat mengumandangkan azan di salah satu masjid di Jakarta.
Foto: Republika/Agung Supri
Seorang muazin saat mengumandangkan azan di salah satu masjid di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono, wartawan Republika

Sekitar enam tahun lalu Wakil Presiden Boediono pernah mengeluarkan imbauan soal suara azan di masjid. Dengan menyebut hal itu sebagai panggilan suci bagi umat Islam untuk menunaikan kewajiban shalat, Boediono berpendapat sepatutnya suara azan di masjid terdengar sayup-sayup saja sehingga lebih merasuk ke sanubari ketimbang yang keras dan menyentak telinga.

Seketika reaksi pun bermunculan antara yang pro dan kontra. Lebih banyak suara yang tak sependapat dengan gagasan Boediono tersebut. Mereka umumnya berpandangan, suara azan memang harus lantang karena itu merupakan panggilan atau seruan.

Rupanya silang pendapat itu tak berlangsung lama. Masyarakat pun tak mempersoalkan lagi suara azan di masjid-masjid atau mushala. Keberadaan pengeras suara di tempat ibadah umat Islam itu pun tetap berfungsi sebagaimana biasa, tanpa ada perbedaan dengan sebelumnya.

Perdebatan soal itu mengemuka lagi. Kali ini bukan terjadi di negara kita, tetapi justru di Ghana. Menteri Lingkungan, Sains, Teknologi, dan Inovasi Ghana, Kwabena Frimpong Boateng, melontarkan pernyataan yang menggelikan. Dia meminta agar seruan azan itu cukup disebarluaskan melalui aplikasi Whatsapp (WA).

Usulan ini benar-benar aneh. Menyebarkan suara azan lewat WA jelas tidak mengena. Tidak semua umat Islam memakai WA. Kalaupun memakai WA, tidak setiap saat dalam posisi siaga (on). Belum lagi kalau pemegang WA itu berada di daerah yang sinyalnya lemah, tentu tak bisa menerima pesan yang masuk.

Kontroversi pernyataan Kwabena itu memang berada di lokasi yang jauh dari Indonesia. Akan tetapi justru itulah yang bisa menjadi perdebatan luas. Buktinya media-media Indonesia saja banyak yang memberitakan masalah ini. Ini berarti gema gagasan Kwabena telah sampai pula ke Indonesia atau negara lain.

Saya pun percaya, dunia internasional telah mendengar atau bahkan memahami apa yang disampaikan menteri Ghana tersebut. Justru inilah yang bisa memunculkan perdebatan lebih panjang lagi. Bukan tidak mungkin ide Kwabena itu akan kembali menjadi pembicaraan di beberapa negara, terutama yang menganut paham sekuler atau yang merasa terganggu dengan pengeras suara dari masjid.

Menurut pikiran Kwabena, panggilan salat yang dikumandangkan melalui pengeras suara di masjid-masjid menyebabkan kebisingan dan mengganggu kenyamanan warga sekitar. Dia menilai, apabila panggilan salat atau azan diserukan melalui pesan teks atau WA, maka hal itu dapat mengurangi polusi suara atau kebisingan di kawasan negara tersebut.

Kalau pemikiran Kwabena itu disikapi oleh negara-negara yang menganut paham sekuler, bukan tidak mungkin ide konyol itu akan menjadi dasar atau pertimbangan untuk membuat aturan pembatasan (bahkan pelarangan) suara azan melalui mikrofon yang mengikat di wilayahnya. Jika satu negara saja yang menerapkan ketentuan agar suara azan dibatasi atau dilarang memakai pengeras suara, sungguh sangat mungkin hal itu akan menjadi inspirasi negara lain untuk menerapkan hal serupa.

Ada kecenderungan, bahwa kebijakan yang diterapkan satu negara akan dengan segera ditiru oleh negara lain. Apalagi kalau kebijakan itu dianggap sejalan dengan nilai-nilai universal tentang hidup bermasyarakat, meski alasannya acap kali terlalu dipaksakan. Terlebih lagi bila kemudian itu sengaja disebarluaskan oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

Mencermati kondisi tersebut dan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa muncul kelak, ada baiknya pemerintah Indonesia dan lembaga yang berkompeten dalam mengurusi serta menata aktivitas masjid agar melakukan diskusi tentang keberadaan pengeras suara di masjid. Tak bisa dipungkiri, ada sebagian masyarakat kita yang mempersoalkan keberadaan pengeras suara di masjid.

Beberapa kalangan sempat mengeluhkan pengeras suara di masjid yang sering dipakai menyiarkan rekaman tentang pujian-pujian atau orang yang sedang mengaji. Keluhan mereka terutama terkait dengan suara keras yang terpancar hingga keluar arena masjid dan dianggap mengganggu masyarakat sekitar.

Memang tak semua masyarakat mengeluhkan keberadaan pengeras suara di masjid. Namun, akan lebih baik kalau pemerintah dan lembaga yang berkompeten menyikapi hal ini. Kita tak boleh menutup mata tentang hal ini. Bukan tidak mungkin, bila ada negara lain yang telah membuat keputusan atau batasan tentang pengeras suara di masjid maka itu akan dijadikan bahan untuk mengampanyekan persoalan serupa ke negara kita disertai tekanan-tekanan.

Saya berpendapat keberadaan pengeras suara di masjid untuk memancarluaskan azan dan informasi lainnya tetap diperlukan. Meski begitu, kita tidak boleh menafikan keberadan sebagian masyarakat yang menilai, bahwa gaung membahana dari pengeras suara cukup menganggu dan berisik.

Pemancarluasan suara dari mikrofon hingga keluar masjid itulah yang perlu untuk ditata lebih jauh. Saya sepakat dengan pemikiran yang menyebutkan, bahwa untuk urusan dua hal ini saja yang dibolehkan menggunakan pengeras suara hingga keluar masjid. Pertama adalah suara azan, termasuk iqomah. Kedua, pengumuman-pengumuman dari masjid yang ditujukan untuk masyarakat.

Soal azan, saya kira semua pihak bisa memahami. Sudah semestinya bila bunyi azan perlu dipancarluaskan hingga keluar masjid dengan suara lantang atau keras. Namanya juga panggilan untuk menunaikan kewajiban, akan lebih baik kalau kian banyak orang/umat yang mendengarkannya. Lebih-lebih, faktanya mereka yang shalat di masjid itu banyak yang tempat tinggalnya tidak terlalu dekat dengan masjid. Tanpa bunyi pengeras suara, mereka mungkin tak mendengar suara azan.

Pengumuman dari masjid saya kira juga perlu pengeras suara yang memancar hingga ke luar. Bisa saja ini berupa pengumuman kematian, rencana ada acara tertentu di masjid yang melibatkan masyarakat banyak, atau pemberitahuan akan ada acara lain di luar masjid, dan sebagainya. Masyarakat sering kali memerlukan informasi semacam ini.

Selebihnya, bunyi pengeras suara di masjid cukup terpancar untuk lingkungan di dalam masjid saja. Ini berlaku untuk khotbah Jumat atau pengajian-pengajian lainnya. Pengecualian bisa diberikan jika acara di masjid itu memang telah mendapat izin untuk diperluas hingga keluar area masjid.

Khotbah Jumat (dakwah), kajian keagamaan, kultum usai shalat fardlu/wajib, dan sejenisnya pada dasarnya ditujukan untuk kalangan peserta yang hadir agar kadar keimanan mereka kian kuat. Karena itu, sudah selayaknya jika suara yang tersiar hanya berada di lingkup internal saja. Tidak tepat kalau untuk hal-hal itu --terlebih jika materi cerahmnya kontroversial atau bernuansa SARA-- pengeras suara di masjid terpancar secara luas dan dengan suara keras.

Pengeras suara yang menyiarkan (atau rekaman) berisi puji-pujian atau orang sedang mengaji mungkin akan lebih baik jika diperdengarkan untuk kalangan di dalam masjid saja. Sudah pasti pembatasan ini tidak berlaku untuk masjid yang berdiri di lingkungan kompleks pesantren yang komunitasnya relatif terpisah dengan masyarakat di luar.

Itu sekadar usulan. Detail lengkapnya tentang ketentuan itu menjadi wewenang Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia, Dewan Masjid Indonesia, serta lembaga keagaman Islam beserta organisasi massa Islam lainnya untuk mendiskusikan dan membuat aturan bersama. Tentu ini demi keharmonisan hidup bermasyarakat dan berbangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement