REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Rupiah masih tertekan. Pada pembukaan perdagangan Kamis (26/4) pagi, rupiah melemah tipis mendekati Rp 14.000 per dolar AS. Pada transaksi antarbank rupiah diperdagangkan di angka Rp 13.923 per dolar AS.
Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada mengatakan dolar AS masih berada dalam area positif terhadap sejumlah mata uang dunia, termasuk rupiah. Hal ini terjadi seiring meningkatnya imbal hasil sejumlah obligasi di Amerika Serikat. "Pelaku pasar uang masih cenderung meningkatkan permintaanya terhadap dolar AS," ujar dia.
Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai pelemahan kurs rupiah dalam sepekan terakhir tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Melihat fundamental yang ada, ia mengatakan rupiah mestinya berada di kisaran Rp 13.500 - Rp 13.600 per dolar AS. Tak ada alasan yang membuat rupiah berubah secara signifikan.
Seperti halnya para pengamat, Menko Darmin menilai pelemahan rupiah lebih disebabkan oleh faktor eksternal. bahkan ia mengaitkan gejolak nilai tukar ini dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
"Sekarang kondisinya sudah lebih tenang sebetulnya. Memang minggu lalu Presiden AS pake Twitter mulai menuduh lagi beberapa negara sebagai manipulator kurs sehingga pasar juga mulai bergerak," kata Darmin.
Pekan lalu, Trump berkicau di twitter yang isinya menuduh Cina dan Rusia sebagai manipulator kurs karena melakukan devaluasi mata uangnya. Devaluasi mata uang biasanya dilakukan agar ekspor suatu negara menjadi lebih murah dan lebih bersaing di pasar global.
"Rusia dan Cina melakukan permainan devaluasi mata uang ketika Amerika terus menaikkan suku bunga. Tidak bisa diterima!," kicau Trump.
Anehnya, kicauan Trump tersebut diunggah beberapa hari setelah Departemen Keuangan Amerika menolak untuk menyebut kedua negara tersebut sebagai manipulator mata uang dalam laporan terbarunya.
Analis Monex Investindo Futures, Faisyal mengatakan sentimen yang menjadi perhatian pelaku pasar uang adalah kenaikan yield surat utang AS bertenor 10 tahun. Yield surat utang ini melewati level tiga persen untuk pertama kalinya sejak 2014. Kondisi itu membuka potensi adanya kenaikan suku bunga AS dalam waktu dekat.
"Selain yield obligasi yang tinggi, menguatnya dolar AS juga karena data ekonomi Amerika Serikat yang optimistis," kata Faisyal.
Salah satu data ekonomi yang muncul yakni Indeks Kepercayaan Konsumen AS selama April meningkat ke level 128.7, naik dibandingkan bulan sebelumnya. Penilaian konsumen AS saat ini membaik, dengan begitu maka kondisi bisnis dan pasar tenaga kerja cukup menguntungkan.
Anggota Komisi XI DPR-RI, Ecky Awal Mucharam mengatakan pelemahan rupiah tak semata akibat persoalan di luar negeri. Persoalan menurunnya kepercayaan stake holder, pasar, investor dan publik pada pemerintah ikut memberi andil terhadap merosotnya rupiah.
Menurut Ecky adanya dana yang mengalir keluar negeri juga terjadi karena ada ketidakpercayaan investor terhadap fundamental ekonomi Indonesia. Misalkan risiko utang yang terus meningkat, serta pengelolaan fiskal yang tidak kredibel, yang tercermin dari shortfall pajak yang terus terjadi selama pemerintahan Jokowi.
Ecky menilai pemerintah gagal mengoptimalkan investment grade yang diraih pada 2017. Utang yang ditarik ternyata juga tidak mampu menggerakan ekonomi, yang terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang medioker di antara negara-negara emerging market. Target pertumbuhan ekonomi tujuh persen pun tidak tercapai.
Lebih jauh, Ecky mengingatkan dampak pelemahan rupiah ini terhadap beban pembayaran bunga dan pokok utang berdenominasi dolar AS. Rupiah yang lemah membuat beban pembayaran utang bertambah berat. "Saat ini untuk utang Pemerintah saja, ada sekitar 109 miliar dolar AS yang memakai valas. Ini tentu akan membebani APBN," ujarnya.