Rabu 25 Apr 2018 05:19 WIB

Pantaskah Setnov Divonis 15 Tahun Penjara?

Setya Novanto mengaku terkejut atas putusan majelis hakim, juga pengamat hukum.

Terdakwa kasus tindak pidana korupsi KTP Elektronik Setya Novanto usai berdiskusi dengan penasehat hukum saat menjalani persidangan yang beragendakan pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Selasa (24/4).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ekpresi istri terdakwa Setya Novanto, Deisti Astriani Tagor saat menghadiri sidang putusan Setya Novanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Selasa (24/4).

Menanggapi putusan majelis hakim, Novanto mengaku mempertanyakan vonis yang dijatuhkan. "Saya sangat shock sekali karena apa yang didakwakan dan apa yang disampaikan perlu dipertimbangkan karena tidak sesuai dengan persidangan yang ada," katanya selepas persidangan.

Namun, Novanto mengaku tetap menghormati dan menghargai putusan majelis hakim. "Dan, saya minta waktu untuk mempelajari dan konsultasi dengan keluarga dan juga pengacara," tutur dia.

Korupsi pengadaan KTP-el terjadi pada tahun anggaran 2011-2012. Mulanya proyek itu berjalan lancar dengan pengawasan KPK, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai mendagri.

Kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi sejak proses lelang tender proyek KTP-el membuat berbagai pihak, termasuk KPK, menaruh curiga bahwa telah terjadi korupsi. Sejak itu, KPK melakukan berbagai penyelidikan demi mengusut kronologi dan siapa saja dalang di balik kasus ini.

Melalui bukti-bukti yang ditemukan dan keterangan para saksi, KPK menemukan fakta bahwa negara harus menanggung kerugian sebesar Rp 2,314 triliun. Setelah melakukan berbagai penyelidikan sejak 2012, KPK akhirnya menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka korupsi. Beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan anggota DPR, yaitu Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana, dan Novanto.

Vonis Novanto terlalu minimal

Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai vonis hukuman kepada Novanto terlalu minimal. Ia mengatakan, seharusnya terdakwa kasus korupsi KTP-el tersebut divonis maksimal, yaitu 20 tahun penjara atau seumur hidup.

"Seharusnya dihukum maksimal, mengingat perannya cukup dominan," kata Fickar, kemarin.

Pendapat Fickar tersebut didasarkan oleh pernyataan sejumlah terdakwa kasus KTP-el lainnya mengenai keterlibatan Novanto. Di antaranya adalah pernyataan dari pejabat Kemendagri, yaitu Irman dan Sugiharto, serta Andi Agustinus atau Andi Narogong yang menyatakan terdakwa akan mengorganisasi terlaksananya proyek tersebut.

Meski demikian, Fickar menilai tambahan hukuman lainnya dinilai setimpal. Adanya kewajiban Novanto membayar uang pengganti sejumlah 7,3 juta dolar AS serta pencabutan hak politik tepat dijatuhkan pada terdakwa.

Fickar menambahkan, KPK harus mengusut tuntas kasus korupsi KTP-el ini, termasuk memproses nama-nama lain yang disebut selama persidangan korupsi KTP-el berlangsung. "Nama-nama yang disebut menerima harus diproses, agar perkara KTP-el ini tuntas," ujar dia.

Apresiasi KPK

KPK mengapresiasi vonis 15 tahun penjara terhadap Novanto karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-el. "KPK tentu saja mengapresiasi hal tersebut, dan kami sampaikan terima kasih karena Hakim secara perinci membuat pertimbangan-pertimbangan sampai pada kesimpulan yang kurang lebih sama dengan dakwaan dan tuntukan KPK," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa.

Ia menjelaskan, pertimbangan-pertimbangan yang sama itu terutama untuk dugaan penerimaan oleh terdakwa sebanyak 7,3 juta dolar AS, penerimaan jam tangan Richard Mille, termasuk juga hukuman tambahan pencabutan hak politik selama lima tahun. Walaupun memang masih ada selisih satu tahun dibanding dengan tuntutan KPK selama 16 tahun penjara.

"Jadi, kami harus mempelajari terlebih dahulu seluruh bagian dari putusan tersebut nanti. Begitu kami terima, kami akan pelajari untuk melihat lebih lanjut siapa saja pihak-pihak lain yang masih harus mempertanggungjawabkan perbuatannya terkait dengan proyek KTP-el," ujar Febri.

Menurut dia, masih ada pihak lain baik yang diduga bersama-sama ataupun pihak yang diduga mendapatkan keuntungan atau aliran dana dari proyek KTP-el. Peran mereka tentu harus dilihat secara lebih perinci sampai akhirnya perlu dilakukan pengembangan penanganan perkara ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement