Selasa 24 Apr 2018 05:39 WIB

Mengapa Rupiah Melemah Dalam?

Pelemahan rupiah tak dapat dilepaskan dari sentimen eksternal.

Petugas menata tumpukan uang dolar AS di Cash Center Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (18/4).
Foto:

Di sisi lain, perkiraan kenaikan tingkat suku bunga acuan Bank Sentral AS (the Federal Reserve/the Fed) juga membuat dolar AS menguat. "Akibatnya, laju rupiah cenderung terkena dampak negatifnya hingga menyentuh batas psikologisnya. Selain itu, adanya penilaian, capital outflow (arus keluar dana asing) akan terjadi seiring perbaikan ekonomi AS turut melemahkan rupiah," ujar Reza, di Jakarta, Senin (23/4).

Pelemahan yang terjadi pada rupiah, kata dia, cenderung diakibatkan imbas dari pergerakan mata uang utama dunia. Sementara itu, dari dalam negeri, sentimen positif yang dapat mengangkat laju rupiah secara signifikan cenderung minim. "Peluang pelemahan rupiah juga masih terjadi seiring meningkatnya laju dolar AS. Maka, tetap cermati dan waspada terhadap sentimen yang membuat laju rupiah kembali tertahan kenaikannya," kata Reza.

Tidak hanya rupiah, mata uang negara-negara di kawasan Asia pun mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Mulai dari dolar Singapura, baht Thailand, peso Filipina, rupee India, won Korea Selatan, yuan Cina, dan yen Jepang.

Kepala Riset Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra, di Jakarta, Senin (23/4), menjelaskan, proyeksi kenaikan suku bunga acuan the Fed mendorong dolar AS menguat terhadap mata uang dunia, termasuk rupiah. Ia menambahkan, apresiasi dolar AS juga didukung oleh meredanya tensi geopolitik serta tingginya imbal hasil obligasi AS. Kondisi itu mendorong capital outflow dari negara-negara berkembang.

Penjelasan otoritas

Direktur Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Rahmatullah mengatakan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS lebih banyak diakibatkan oleh faktor eksternal. Dalam bincang media di Jakarta, Senin, Rahmatullah menyebutkan, nilai tukar dolar AS sudah kembali menguat terhadap mata uang utama maupun mata uang negara-negara berkembang.

Ia menyebutkan pula bahwa imbal hasil di global, khususnya US Treasury, sekarang sudah mendekati tiga persen. "Artinya, banyak pelaku pasar global mulai kembali antisipasi kemungkinan Fed Funds Rate itu akan naik lagi dalam waktu dekat. Tadinya ada kemungkinan tiga kali, tetapi juga kemungkinan lebih agresif hingga empat kali," ujar Rahmatullah.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara memastikan, BI selalu ada di pasar untuk menjaga stabilitas. Ia pun mengimbau agar rupiah dilihat dari sisi persentase pergerakan, bukan nominal.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Adrianto mengatakan, gejolak situasi keuangan global membuat nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS. Untuk menghadapi hal itu, pemerintah akan memperkuat sejumlah kebijakan fiskal.

"Situasi global masih sangat kondusif. Volatilitas sektor keuangan saat ini lebih sebagai respons jangka pendek," ujar Adrianto melalui pesan singkat, kemarin.

Ia mengatakan, pelemahan kurs mata uang terhadap dolar AS juga terjadi di negara-negara lain sebagai imbas situasi keuangan global. Beberapa isu ekonomi global, termasuk di antaranya adalah kebijakan di AS. Meski begitu, Adrianto menyebut, ekonomi global masih diperkirakan tumbuh positif di level 3,9 persen pada 2018 dan 2019. Oleh karena itu, situasi global secara umum dinilai masih sangat kondusif.

Dalam menghadapi pelemahan rupiah, pemerintah akan terus memperkuat kebijakan fiskal agar kepercayaan investor tetap terjaga. "Kita dorong ekspor, termasuk koordinasi dengan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan Kementerian Perdagangan, perbaikan iklim investasi melalui kebijakan pajak dan insentif pajak, dan kebijakan untuk terus menjaga kesehatan APBN," ujar Adrianto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement