Senin 23 Apr 2018 11:00 WIB

Indonesia Beragama

Hampir semua sila Pancasila merupakan aktualisasi dari nilai-nilai ajaran agama.

Pemerhati Masalah Kebangsaan Danang Aziz Akbarona
Foto: Dokpri
Pemerhati Masalah Kebangsaan Danang Aziz Akbarona

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Danang Aziz Akbarona *)

 

Konstruksi UUD 1945 yang menjadi pedoman berbangsa dan bernegara sejatinya menempatkan nilai agama sebagai sesuatu yang penting—jika bukan yang utama. Ada banyak pasal dalam UUD yang menekankan pentingnya agama. Maka, terhadap aspirasi dan aktualisasi nilai-nilai agama agar menjadi nafas kebangsaan Indonesia semestinya kita tidak perlu risau apalagi sampai resisten. Geliat keberagamaan dalam arti tumbuhnya kesadaran beragama untuk bepegang pada nilai-nilai agama dalam kehidupan adalah hal yang semestinya kita sambut dengan gembira karena sejalan dengan amanat konstitusi dan searah dengan cita pembentukan karakter/identitas manusia Indonesia.  

 

Dus, ruang publik yang diwarnai dengan kuatnya semangat beragama dan/atau aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah positif. Negara bukan saja harus memberikan ruang kebebasan akan tetapi berkewajiban mendorong dan memfasilitasi pelaksanaan ajaran agama secara konsekuen. Hal ini juga semestinya berimplikasi pada cara pandang (perspektif) kebijakan negara dalam merespon perkembangan sosial. Negara semestinya tidak ragu (firm) dalam memberikan respon dan kebijakan terhadap kasus/isu tertentu sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama. 

 

Konsistensi berkonstitusi 

 

Di tengah perkembangan globalisasi dan masifnya budaya liberal dan sekuler yang merasuki kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kesadaran tentang apa yang menjadi nilai identitas dan karakter bangsa menjadi sangat penting karena hal itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak ingin begitu saja larut dan terbawa oleh budaya (asing) yang dominan. Di antara nilai itu adalah nilai keberagamaan bangsa Indonesia. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa Indonesia punya identitas dan karakter yang khas, yang berbeda dengan identitas dan karakter bangsa bangsa lain di dunia, dan tidak bisa didominasi oleh identitas budaya bangsa lain yang lebih dominan.  

 

Tumbuhnya nilai dan semangat keberagamaan yang bertalian erat dengan semangat kebangsaan ini menegaskan, bahwa Indonesia betapapun tidak mendeklarasikan diri sebagai negara agama akan tetapi nilai-nilai ajaran agama sangat dijunjung tinggi bahkan dipedomani sebagai satu hukum yang hidup (living law) dan menjadi sumber pembentukan konstitusi negara. Secara eksplisit kita mendapati integrasi antara nilai-nilai ajaran agama dengan Ideologi dan konstitusi negara. Ada banyak ketentuan dalam UUD 1945 yang susah dipungkiri diilhami bahkan dilandasi oleh cara pikir dan paradigma sebagai insan yang beragama. 

 

Hampir semua sila Pancasila merupakan aktualisasi dari nilai-nilai ajaran agama (terutama agama Islam yang menjadi agama mayoritas di negara ini). Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa jelas menegaskan bahwa bangsa ini mengakui adanya Tuhan.  Bahkan, sila pertama Pancasila ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembukaan UUD 1945 juga secara eksplisit menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia semata-mata atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. 

 

Kalau kita baca risalah pembentukan UUD 1945, disana dinyatakan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila utama dan bintang penerang bagi sila-sila lainnya. Dorongan keimanan dan ketakwaan inilah yang menurut Jimly Asshiddiqie dalam buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (2012:122) menentukan kualitas dan derajat kemanusiaan seseorang di antara sesama manusia, sehingga perikehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil, dan dengan demikian kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat di antara bangsa-bangsa. 

 

Dengan pernyataan tersebut kita secara tegas dapat mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Tuhan atau bangsa yang beragama. Sebaliknya, sulit bagi kita untuk menerima logika dan pandangan bahwa bangsa ini (pada saat yang sama) bisa menerima paham atheisme, komunisme, marxisme, dan leninisme yang secara jelas dalam doktrin ajarannya menolak eksistensi Tuhan dan agama.

 

Selanjutnya, jika kita memahami sila-sila Pancasila lainnya, maka kita akan mendapati secara eksplisit maupun implisit kuatnya pengaruh nilai ajaran agama yang hidup dalam bangsa ini. Sebut saja sila kedua yang secara tegas menyatakan bahwa kita ingin menghadirkan "kemanusiaan yang adil dan beradab". Dengan kata lain kita ingin membangun peradaban bangsa dengan seluruh manusianya yang mengutamakan keadilan, keadaban, dan kehidupan yang bermartabat bukan perilaku yang menyimpangi fitrah kemanusiaan yang beradab dan bermartabat. 

 

Demikian halnya kalau kita pelajari secara saksama pasal-pasal yang terkandung dalam konstitusi negara maka kita akan menemukan secara eksplisit pengaruh agama dan nilai-nilai Ketuhanan yang begitu kuat. Sebut saja Pasal 31  tentang pendidikan nasional. Pasal ini bukan sembarang pasal karena merupakan jiwa atau roh yang menentukan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. 

 

Disebutkan secara eksplisit pada Pasal 31 Ayat (3) bahwa visi penyelenggaraan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan serta akhlak mulia. Tentu kita tidak punya terjemahan lain atas amanat pasal ini kecuali kita mendorong dan mengarahkan kehidupan bangsa Indonesia selalu berlandaskan nilai-nilai dan ajaran agama. 

 

Bagaimana dengan aktualisasi nilai-nilai hak asasi manusia konteks kehidupan berbangsa dan bernegara? Faktanya, ada banyak sekali pasal tentang HAM dalam UUD 1945 terutama yang diadopsi pascareformasi dalam perubahan UUD 1945. Bahkan ketentuan mengenai HAM tersebut dituangkan dalam satu bab khusus yaitu BAB XA mulai Pasal 28A sampai Pasal 28J. Pertanyaannya, bagaimana hubungan implementasi HAM universal dengan nilai-nilai agama di Indonesia?

 

Para perumus perubahan UUD 1945 memberikan satu fondasi yang sangat kuat tentang keberlakuan dan keberlangsungan HAM dikaitkan dengan nilai serta ajaran agama yang berlaku di Indonesia. Pasal 28J secara eksplisit menyatakan bahwa “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” 

 

Jelas dalam ketentuan tersebut pelaksanaan HAM individu di Indonesia tidak dapat dilakukan secara bebas dalam arti sebebas-bebasnya, tetapi dalam kerangka penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan pembatasan yang dilakukan oleh undang-undang serta harus sungguh-sungguh menimbang moral dan nilai-nilai agama. Dus, tuntutan kebebasan tanpa batas seperti kelompok yang menyuarakan LGBT dan/atau tuntutan keabsahan pernikahan sejenis, misalnya, tidak dapat diterima di negara ini karena batasan moral dan agama di atas. 

 

Demikian halnya, praktik perzinahan (kumpul kebo) dan pergaulan bebas, peredaran miras atau minuman beralkohol, jelas tidak sesuai dengan nilai dan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Tentu kejahatan lainnya yang lebih besar seperti pembunuhan, kekerasan, kriminalitas, korupsi, dan lain sebagainya yang telah dihukumi dengan hukum positif tidak lepas dari semangat keberagamaan bangsa Indonesia. Hal itu semua semata sebagai bentuk konsistensi dalam bernegara dan berkonstitusi.

 

Indonesia beragama

 

Seluruh narasi di atas sesungguhnya menegaskan satu identitas nasionalisme bangsa Indonesia yaitu nasionalisme yang religius. Nasionalisme bangsa kita dibangun di atas pondasi nilai-nilai dan ajaran agama—yang bukan saja dituangkan secara implisit, tetapi dituliskan secara jelas dan tegas (eksplisit) dalam ideologi negara Pancasila dan UUD 1945. Indonesia berdasarkan konstitusi adalah bangsa dan negara yang beragama.

 

Dengan fakta-fakta tersebut maka seluruh warga bangsa Indonesia sudah semestinya menyelaraskan diri dengan semangat yang dikandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta tidak mencoba untuk memaksakan kehendak atau penafsiran yang menyimpang dari semangat tersebut. Tidak ada ruang bagi warga negara Indonesia untuk menjadikan Indonesia bangsa yang sekuler (pemisahan nilai agama dari ruang publik) apalagi atheis (tidak beragama). Tidak ada ruang pula bagi kita untuk memaksakan nilai-nilai, ajaran, perilaku yang bertentangan dengan moral dan nilai-nilai agama—betapapun notabene hal itu dijustivikasi sebagai hak asasi manusia. Sebaliknya, menjadi kewajiban kita bersama untuk mengokohkan nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan cara melaksanakan ajaran agama—apapun agamanya—secara murni dan konsekuen. 

 

 

*) Pemerhati Politik Kebangsaan, Institute for Social, Law, and Humanities Studies (ISLAH)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement