Ahad 22 Apr 2018 05:39 WIB

Keluar dari Jeratan Utang

Utang pemerintah yang mendekati Rp 4.000 triliun bukan angka yang kecil.

KH. Didin Hafidhuddin

Jika karena sangat terpaksa seseorang memiliki utang maka harus berniat untuk segera membayar. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang meminjam harta manusia, (dan) ingin melunasinya, niscaya Allah akan melunaskan atasnya dan barang siapa yang meminjam (dan) ia ingin menghilangkannya (tidak mau membayar), niscaya Allah menghilangkannya (tidak memberikan kemampuan untuk membayar).” Bahkan, Rasulullah SAW tidak mau menshalatkan jenazah yang memiliki utang yang belum ada pihak yang bertanggung jawab untuk melunasi atau membayarnya.

Dalam konteks utang negara, pemerintah harus memperhitungkan kemampuan membayarnya dan tidak mewariskan beban berat tersebut kepada generasi mendatang. Terkait dengan utang atau pinjaman untuk memenuhi anggaran pembangunan, harus dilakukan secara hati-hati, disesuaikan dengan kemampuan membayar dalam jangka waktu tertentu, serta diusahakan dengan tidak membebani masyarakat, misalnya dengan melipatgandakan pembayaran pajak.

Apalagi, utang luar negeri dengan tingkat suku bunga yang tinggi sangat membahayakan karena sesungguhnya bunga itu jelas diharamkan. Perhatikan firman Allah dalam QS al-Baqarah (2) ayat 278-279. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (278). Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (279).”

Neraca APBN akan semakin jauh dari kondisi ideal kalau sebagian besar digunakan untuk membayar bunga utang luar negeri. Belum lagi terjadinya kebocoran (korupsi) terhadap uang dari pinjaman tersebut sehingga kian memperparah dan memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan bangsa.

Dalam agama, perlu dicari alternatif-alternatif pembiayaan pembangunan yang bersumberkan dari ajaran Islam, seperti zakat untuk menyejahterakan hidup orang-orang miskin, infak, dan sedekah serta wakaf untuk pembangunan infrastruktur kehidupan masyarakat. Upaya dan langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak seharusnya dilakukan dengan menambah utang kepada negara lain dengan bunga yang tinggi, apalagi ditambah dengan ikatan perjanjian yang menempatkan negara kita terkesan seolah pada posisi yang lemah.

Dalam rangka mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, semestinya dilakukan dengan langkah-langkah. Pertama, menumbuhkan dan menguatkan etos kerja masyarakat. Kedua, meminimalkan sifat rakus, ambisi pembangunan proyek tanpa perhitungan, dan upaya serius untuk mencegah korupsi. Ketiga, menegakkan keadilan dan pemerataan di semua bidang, termasuk di bidang ekonomi dan penegakan hukum.

Keempat, menggali potensi sumber daya alam secara bertanggung jawab. Kelima, menguatkan institusi agama, seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf.

Semoga bangsa Indonesia yang merupakan bangsa Muslim terbesar di dunia bisa keluar dari jerat utang dan rakyatnya hidup sejahtera dalam naungan pemerintah yang adil dan bertanggung jawab serta berpihak kepada mereka, sehingga mengundang rahmat dan pertolongan Allah SWT. Amin.

Wallahu alam bi ash-shawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement