Kamis 19 Apr 2018 16:20 WIB

Mengurai Kelambanan Sertifikasi Halal Produk Kosmetik

Sertifikasi produk obat dan kosmetik di Indonesia belum mencapai 1 persen

Rep: Novita Intan/ Red: Budi Raharjo
Dua perempuan sedang memilih cat kuku yang kini diproduksi secara halal oleh beberapa label kosmetik.
Foto: Reuters
Dua perempuan sedang memilih cat kuku yang kini diproduksi secara halal oleh beberapa label kosmetik.

REPUBLIKA.CO.ID,Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai proses sertifikasi halal produk kosmetik dan obat-obatan di Indonesia masih lamban. Alhasil, banyak produk luar yang masuk ke Indonesia dan dikonsumsi oleh masyarakat.

Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengatakan, secara umum sertifikasi produk obat-obatan dan kosmetik di Indonesia belum mencapai 1 persen. "Jumlah yang sudah disertifikasi, belum ada 1 persen karena baru ratusan produk, sedangkan yang beredar sudah jutaan obat dan kosmetik," ujarnya kepada Republika, Jakarta, Selasa (17/4).

Menurutnya, perlambatan sertifikasi halal kedua produk tersebut membuat Indonesia tertinggal dibandingkan negara lainnya. Padahal, pasar produk tersebut di Indonesia memiliki potensi cukup besar. "Pada akhirnya produk luar masuk ke Indonesia barulah mereka menyadari. Jadi, semua pihak harus sepakat halal ini sebagai keunggulan bersaing produk-produk Indonesia," ungkapnya.

Untuk itu, ia mendesak pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Jaminan Produk Halal. Sebab, memasuki 4 tahun UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat.

UU ini juga belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap dunia usaha dan percepatan industri halal di Tanah Air. Dengan begitu, menjadikan tidak berfungsinya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

"UU itu di Indonesia secara normatif harus ada PP-nya menjalankannya, saat menjalankan PP namun ternyata kita juga terbentur dengan amanat UU yang harus dua tahun dan sekarang sudah lewat. Jangan sampai nanti di belakang ada polemik lagi," ucapnya.

Kepala Biro Humas Data dan Informasi (HDI) Kementerian Agama Mastuki mengatakan, secara umum, belum diterbitkannya PP tersebut lantaran hal teknis antarkementerian dan lembaga. Sebab, keseluruhan produk halal bukan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama saja.

"Koordinasi dan sosialisasi terus kami lakukan karena ada banyak kementerian terkait PP Jaminan Produk Halal. Misal Kementerian Perdagangan, Kementerian Industri, Kementerian Kesehatan, dan lembaga lainnya," ujarnya ketika dihubungi Republika, Jakarta, Senin (16/4).

Menurutnya, ada beberapa hal yang juga belum disepakati antarkementerian/lembaga, seperti soal obat-obatan. Di mana, penetapan item halal tidak bisa diperoleh dari Kementerian Kesehatan saja. "Soal vaksin, misalnya, dan item komponen barang lainnya juga, seperti kosmetik," ucapnya.

Ia pun menegaskan, belum diterbitkannya PP tersebut agar para dunia usaha bisa terselamatkan dalam bisnisnya sehingga diperlukan hal yang benar matang dalam merumuskannya. "Kendalanya itu sifat yang masih belum ditentukan rumusannya karena demi menyelamatkan industri," ungkapnya.

Sementara, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta tim penyusunan dan pembahasan untuk bergerak cepat dalam menuntaskan proses penerbitan rencana peraturan pemerintah (RPP) tentang jaminan produk halal (JPH). Menag juga berharap Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dapat menggelar public hearing sebelum RPP JPH disahkan.

"Saya minta sejumlah permalasahan dapat diurai dan diselesaikan secara cepat, terutama dengan pihak Kementerian Kesehatan. Sementara, permasalahan lainnya dapat diselesaikan secara simultan," kata dia, seperti dilansir dari website Kementerian Agama, Senin (16/4). n ed: irwan kelana

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement