Rabu 18 Apr 2018 15:09 WIB

BPS Dinilai Salah dalam Ukur Kemiskinan

BPS diminta mengganti ukuran kemiskinannya

BPS
BPS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menyebut ada sejumlah kesalahan fatal yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur kemiskinan. 

”BPS harus mengganti ukuran kemiskinannya,  karena kesalahan fatal yang sudah menjadi sistem pemerintah ini cenderung mengarah kepada tragedi kemanusiaan,” kata Daeng, sapaan karibnya, dalam keterangan kepada pers, Selasa (17/4).

Kesalahan fatal BPS yang pertama, menurut Daeng, adalah penggunaan pendekatan pengeluaran. Karena bersifat makro, pendekatan seperti ini tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. ”Sementara, kemiskinan terjadi pada level mikro, rumah tangga dan perorangan,” ujarnya.

Kesalahan kedua, lanjut Daeng, adalah ukuran kemiskinan BPS yang menyatakan bahwa semakin besar pengeluaran maka semakin kaya seseorang. ”Bukan cuma fatal, cara semacam ini juga kejam. Karena, hal itu berarti, semakin banyak ekonomi menguras uang masyarakat, maka akan terlihat masyarakat semakin kaya,” katanya.  

Ketiga, ukuran yang menyebut bahwa jika terjadi wabah dan penyakit, secara otomatis pengeluaran masyarakat semakin bertambah. Artinya, semakin penuh rumah sakit, kemiskinan semakin berkurang. Keempat, kalau pemerintah terus menaikkan harga kebutuhan publik seperti transportasi, listrik dan BBM, maka kemiskinan akan tampak berkurang. 

”Padahal, faktanya, rakyat justru semakin menderita karena terpaksa membayar lebih mahal,” ujar Daeng.

Kesalahan berikut, adalah pendekatan BPS terkait besarnya pengeluaran yang sama sekali tidak memperhitungkan sumber dana masyarakat. Apakah dari menjual aset dan harta benda untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

”Jadi, semakin banyak harta benda rakyat yang hilang untuk membiayai kebutuhan hidup, maka kemiskinan berkurang. Ini pendekatan yang manipulatif,” katanya.  

Kesalahan fatal berikutnya, masih kata Daeng, semakin banyaknya beban utang masyarakat dalam membiayai kebutuhan sehari-hari tidak dapat diartikulasi oleh cara BPS dalam menghitung kemiskinan. Ini sama artinya dengan semakin banyak utang masyarakat, maka mereka tidak akan miskin. 

”Pengertian ini yang menjerumuskan masyarakat dalam jebakan utang kartu kredit atau rentenir,” katanya.

Terakhir, adanya ukuran BPS yang menyatakan semakin tinggi pajak dan pungutan lain oleh pemerintah yang bersifat memaksa, maka pengeluaran masyarakat pasti bertambah. 

”Artinya, kemiskinan akan berkurang kalau pemerintah semakin jelas dalam menjalankan strategi kolonial dengan cara memeras pajak,” kata Salamudin Daeng.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement