Selasa 17 Apr 2018 16:42 WIB

Naik Turun Elektabilitas Prabowo-Jokowi

Meski naik turun, elektabilitas Jokowi-Prabowo belum bisa dikejar calon-calon lainnya

Presiden Jokowi bertemu Prabowo Subianto.
Foto: Halimatus Sa
Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto berbincang di beranda belakang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/11)

Tiga Pasangan Capres-Cawapres

Meski diyakini pertarungan Pilpres 2019 bakal diikuti dua pasangan capres-cawapres, namun tidak menutup kemungkinan munculnya poros ketiga. Saat melakukan simulasi tiga pasang capres-cawapres dalam survei terakhir yang dilakukan per 24 Maret hingga 6 April 2018, Jokowi dinilai akan sangat diuntungkan apabila terjadi tiga pasang capres. Tetapi Jokowi justru akan sangat dirugikan bila hanya dua pasangan capres.

Direktur Riset lembaga survei Median Sudarto mengungkapkan, dari hasil survei Median terakhir, masyarakat masih fokus pada siapa capres yang akan muncul. Ini berbeda untuk cawapres. Median menyurvei 45 nama tokoh nasional. Dari survei itu, Jokowi menempati peringkat teratas di angka 36,2 persen. Disusul Prabowo 20,4 persen, Gatot Nurmantyo 7,0 persen, JK 4,3 persen, dan Anies Baswedan di angka 2,0 persen.

Dari nama-nama tersebut, sebut Sudarto, Median membuat simulasi tiga pasang capres yang kemudian ditanyakan kepada masyarakat. Dari tiga sampel pasangan tertinggi, Jokowi-Muhaimin menduduki elektabilitas tertinggi dengan 41,3 persen. Sementara itu, di pasangan capres lain Prabowo-Anies Baswedan dengan elektabilitas tertinggi di angka 33,9 dan pasangan capres ketiga AHY-Gatot Nurmantyo di angka 7,5 persen.

Nama Muhaimin muncul sebagai cawapres terkuat Jokowi. Sebab, di antara nama lain, dia mengungkapkan, elektabilitasnya rendah atau terdapat penolakan bila berduet dengan Jokowi. Seperti nama Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Gatot Numantyo, Anies Matta, atau Tuan Guru Bajang (TGB) yang memiliki resistensi dari para pendukungnya bila berpasangan dengan Jokowi.

"Pendukung Prabowo, Anies Baswedan, Gatot, dan TGB akan tetap menolak memilih Jokowi bila nama-nama mereka dipasangkan sebagai cawapres Jokowi," kata Sudarto menjelaskan.

Di sisi lain, ungkap dia, simulasi tiga pasangan calon justru akan menguntungkan capres pejawat Jokowi. Hal ini karena potensi pihak-pihak yang merapat ke Jokowi akan sangat besar. "Simulasi tiga pasang calon sangat menguntungkan Jokowi. Ini berbeda kalau Jokowi head to head dengan Prabowo," ujar Sudarto.

Sudarto memaparkan, dari seluruh responden yang ingin presiden baru, jumlahnya jauh lebih besar, sebanyak 46,37 persen. Sementara itu, hanya 45,22 persen responden yang ingin Jokowi memimpin kembali dua periode. Sisanya, 8,41 responden, memilih tidak menjawab. Dari tingginya angka responden yang ingin ganti presiden pada 2019, menurut dia, faktor yang paling dirasakan adalah ketidakstabilan ekonomi.

"Kondisi ekonomi makin sulit, harga listrik dan BBM naik, termasuk harga pangan mahal. Ini masih menjadi alasan masyarakat ingin ada pergantian. Walaupun ada tambahan nilai di infrastruktur, tapi belum terlalu dirasakan masyarakat," ungkapnya.

Survei Median yang dilakukan sepanjang 24 Maret hingga 6 April 2018 ini mengambil sampel 1.200 responden, dengan margin error +/- 95 persen. Metode yang dilakukan dengan cara teknik multistage random sampling dan proporsional atas populasi provinsi dan gender. Sampel yang menjadi responden merupakan seluruh warga Indonesia yang memiliki hak pilih pada 2019.

Pendiri Lembaga Survei Kedai Kopi Hendri Satrio menjelaskan, Jokowi harus bekerja keras untuk menang dalam Pilpres 2019. Meski maju sebagai calon pejawat, Jokowi masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, termasuk melunasi utangnya saat kampanye pada Pilpres 2014.

Dari hasil survei KedaiKOPI yang dirilis pada Oktober 2017, rakyat masih mengeluhkan masalah ekonomi (kebutuhan pokok, BBM dan listrik mahal) serta masalah kebutuhan lapangan kerja. "Ini yang menghambat Jokowi untuk meraih elektabilitas tinggi menjelang Pilpres 2019," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (17/4).

Sejauh ini, elektabilitas Jokowi sebagai capres masih berkutat di angka 35,1 persen. Jumlah ini didapatkan Hendri saat mengajukan pertanyaan terbuka kepada responden 1.135 responden di 34 provinsi. Meski membuat Jokowi berada di posisi teratas, persentase tersebut masih terbilang rendah sebagai seorang pejawat.

Ia berpendapat, untuk bisa meningkatkan elektabilitas, Jokowi harus segera menyelesaikan pekerjaan rumah dan menunaikan janjinya ketika kampanye termasuk terkait utang Indonesia. Jokowi juga harus fokus ke ekonomi dan penegakan hukum yang saat ini masih kerap dipertanyakan masyarakat terkait konsistensinya.

"Terakhir, bagaimana menyelesaiakn isu keberagaman yang saat ini terus panas di masyarakat," kata Hendri.

Tapi, elektabilitas rendah tak berarti membuat Jokowi kalah. Hendri menuturkan, potensi Jokowi terbilang besar apabila kelak hanya berhadapan dengan Prabowo.

Kritisnya angka elektabilitas Jokowi dalam satu tahun terakhir, dinilai karena serangan dari oposisi. Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Reni Suwarso, berkata, banyak serangan yang ditujukan kepada Jokowi sehingga menyebabkan elektabilitasnya tidak naik signifikan. Termasuk di antaranya di bidang ekonomi dan agama yang belakangan ini menjadi topik panas di tengah masyarakat Indonesia.

Menurut Direktur Center for Election and Political Party FISIP UI itu menjelaskan, posisi Jokowi sebagai pejawat seharusnya bisa meraih elektabilitas yang lebih tinggi. Dia pun membandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika berposisi pejawat pada pilpres 2019.

Dia mengatakan, pencapaian Jokowi lebih kecil dibandingkan persentase SBY ketika berstatus pejawat pada pilpres 2009. Dia menambahkan, perbedaan persentase tersebut karena kondisi Jokowi dan SBY pada sembilan tahun lalu tidak sama.

Dia menerangkan, ada perbedaan situasi politik. "Dulu SBY di-support dan pihak oposisi tidak bermain kotor. Sekarang, Jokowi terlihat dengan jelas diserang dari berbagai arah," ujar Reni ketika dihubungi Republika, Selasa (17/4).

photo
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima kunjungan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (27/10)

Dalam menghadapi kondisi ini, Reni menganjurkan agar Jokowi tidak terlalu mengusik serangan dari berbagai arah. Sebagai pemimpin negara, Jokowi sepatutnya tetap fokus menjalankan tugas dan amanat dari rakyat Indonesia. "Lawan serangan dengan bukti, bukan janji. Masyarakat kita sudah terlalu lelah dengan janji dan jargon-jargon," ucap Reni.

Tidak hanya pihak Jokowi, upaya yang sama juga harus dilakukan oleh pihak lain. Reni mengatakan, elite politik lain tidak sepatutnya menjatuhkan lawan dengan cara kotor, termasuk melibatkan isu-isu sensitif seperti agama. Partai politik juga seharusnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi isu yang beredar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement