REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah Perguruan Tinggi Agama Negeri (PTAN) maupun Perguruan Tinggi Agama Swasta (PTAS) yang terakreditasi A masih sangat minim. Tercatat, dari 66 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia yang terakreditasi A, hanya ada tiga yang berasal dari PTAN. Bahkan, tidak ada Perguruan Tinggi Agama Swasta (PTAS) yang terakreditasi A.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menilai, Perguruan Tinggi Keagamaan baik negeri maupun swasta perlu mendapat sentuhan kebijakan pendidikan tinggi yang dapat memberikan manfaat dalam peningkatan kualitas perguruan tinggi. Sehingga tidak ada kesenjangan antara perguruan tinggi di bawah Kemenristekdikti dan Kemenag.
"Kesenjangan itu meliputi kualitas perguruan tinggi maupun sumber daya manusianya. Makanya masalah nomenklatur program studi, gelar, homebase dosen harus disederhanakan regulasinya," ungkap Nasir di Jakarta, Selasa (17/4).
Nasir berharap, Perguruan Tinggi Keagamaan bisa lebih fokus lagi dalam meningkatkan mutu perguruan tinggi dan program studi keagamaan. Terlebih saat ini, program studi PT Keagamaan yang terakreditasi A juga minim. Sebab, prodi PT Keagamaan yang terakreditasi A kurang dari persen 10 persen dari total 2717 prodi seluruh perguruan tinggi di Indonesia yang terakreditasi A.
Untuk mendukung pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia, Nasir pun berharap agar tiap kementerian harus fokus pada bidangnya sehingga dapat dicapai pendidikan tinggi keagamaan maupun pendidikan tinggi umum dengan mutu yang tinggi.
"Kewenangan pengaturan untuk program studi umum maupun keagamaan harus ada di satu kementerian agar tidak ada tumpang tindih pengaturan," jelas Nasir.
Kemenristekdikti sendiri berwenang dalam mengeluarkan izin pembukaan program studi umum, izin perubahan program studi umum, dan pencabutan izin program studi umum baik program studi di Perguruan Tinggi Umum maupun di Perguruan Tinggi Keagamaan.
Sementara kewenangan Kemenag meliputi izin pembukaan program studi keagamaan, izin perubahan program studi keagamaan, dan pencabutan izin program studi keagamaan baik program studi yang berada di Perguruan Tinggi Umum maupun di Perguruan Tinggi Keagamaan.