REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Jawa Tengah, daerah yang selama ini dikenal cukup adem ayem, ternyata termasuk salah satu daerah 'darurat korupsi' di negeri ini. Kondisi ini menjadikan pembangunan di daerah ini masih tertinggal dengan daerah lain di Jawa.
Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menyebut Jateng sebagai salah satu daerah ‘darurat korupsi’ berdasarkan kasus dugaan korupsi di wilayah itu. Bambang menjelaskan berdasarkan informasi dari Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme ( KP2KKN), ICW, dan lembaga penegakan hukum, sampai dengan April 2018 ini sudah ada 31 kasus dengan 32 tersangka korupsi di Jawa Tengah.
Sejumlah kepala daerah di Jateng terkena Operasi tangkap Tangan (OTT). Belum jika menoleh ke belakang, atas kasus korupsi yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Ia melihat, salah satu penyebab tingginya faktor korupsi di Jawa Tengah ini karena ada kesalahan paradigma dalam memahami korupsi. Paradigma pertama, korupsi hanya dilihat dari perspektif expenditur saja.
“Dalam hal ini pengelolaan keuangan negara saja. Sementara hal- hal yang berkaitan dengan penerimaan negara belum dilihat,” kata dia saat menjadi pembicara pada Seminar Anti-Korupsi 'Pemerintahan yang Bersih Menuju Percepatan Pembangunan' di Semarang, Ahad (15/4).
Bambang menjelaskan kesalahan paradigma yang kedua, yakni tidak memperhatikan sektor-sektor yang menyentuh kemaslahatan masyarakat secara langsung. Misalnya soal ketahanan pangan, pendidikan dan sebagainya.
Menurut dia, kalau problem korupsi di sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak dipahami maka berbagai hal yang dilakukan selama ini tidak menyentuh persoalan yang fundamental. Dia menyontohkan kemiskinan yang masih berlangsung di Jawa Tengah.
“Kalau Jawa Tengah tidak mampu mempercepat akselerasi untuk mengatasi masifitas kemiskinan, dengan menaklukkan korupsi secara sistematis dan terstruktur, maka daerah ini sebenarnya sedang tidak melakukan apapun,” kata dia.
Akademisi bidang Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Prof Dr Suteki SH MHum sepakat dengan Bambang terkait dampak korupsi yang memengaruhi kemampuan daerah dalam mempercepat pembangunannya. Di sisi lain, ia melihat ini merupakan persoalan karakter kekuasaan sehingga persoalan kepemimpinan juga berperan.
Akibatnya kecepatan membangun lambat, penyerapan anggaran rendah antara 40 hingga 60 persen. “Jadi korupsinya ada terus, sementara percepatan pembangunannya juga rendah,” tambahnya.
Terkait korupsi, Guru Besar Fakultas Hukum Undip ini mengatakan, Indonesia menempati peringkat ke-96, dari 183 negara, dalam hal indeks persepsi korupsi dengan nilai 37 dari angka 100. “Jangan salah, indeks persepsi korupsi Indonesia ini masih di bawah Timor Leste,” katanya.
Catatan 300 kasus korupsi kepala daerah dengan 77 di antaranya diungkap melalui OTT merupakan fakta bahwa pemerintahan di negeri ini tidak bersih. Padahal, dari sisi peraturan perundang-undangan, Indonesia tidak kurang.
“Di negara demokrasi peraturan menjadi landasan, tetapi nggak tahu di mana kelirunya ini,” tegas Suteki.
Ia juga menegaskan, dari sisi penegak hukumnya juga tidak kalah banyak. Ada KPK, inspektorat di tiap dinas, dan kejaksaan. Akan tetapi, ini tidak membuat korupsi semakin surut.
Wakil Direktur Madrasah Anti-Korupsi, Ahmad Fanani mengatakan, korupsi di Indonesia menjadi akut karena korupsi tidak hanya terjadi di lingkungan penyelenggara pemerintahan saja. “Aparat penegak hukum pun juga melakukan tindakan korupsi,” tandasnya.