Sabtu 14 Apr 2018 04:03 WIB

CPO dan Langkah Menggertak Uni Eropa

Indonesia mengancam akan menghentikan pembelian pesawat Airbus dan Boeing

Andi Nur Aminah
Foto: Republika/Daan Yahya
Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi nur Aminah*

Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita, baru-baru ini meminta izin kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menggertak Uni Eropa. Apa yang membuat Pak Enggar begitu kesal? Ternyata, masalah CPO.

Crude palm oil atau CPO, atau lebih mudahnya lagi minyak sawit mentah, dalam dunia perdagangan global saat ini kembali memanas. Enggar, sebagai salah satu tim perunding sepertinya mulai buntu menghadapai perkembangan negosiasi Indonesia dengan Uni Eropa soal CPO.

Uni Eropa melakukan pembatasan penggunaan produk turunan CPO untuk biodiesel. Parlemen Uni Eropa diketahui telah menyetujui rencana phase out biodiesel berbahan minyak sawit mentah pada 2021.

Memang ini baru rencana, belum final. Namun jika rencana itu jadi dilaksanakan, hal ini akan mengancam ekspor biodiesel Indonesia. Karena itu, mumpung masih dalam bentuk rencana, Indonesia memang harus bersikap.

Maka dengan lantang, Enggar pun mengutarakan bentuk ancamannya menggertak Uni Eropa. Salah satunya, akan menghentikan pembelian pesawat Airbus dan Boeing jika Uni Eropa masih bersikeras dengan rencananya itu.

Permasalahan ini, sebetulnya bukan yang pertama kalinya dialami oleh Indonesia. Parlemen Uni Eropa menilai industri sawit menciptakan banyak masalah. Seperti deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, pekerja anak, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tapi, sekitar tahun 1990-an ada penelitian yang menganggap bahwa minyak sawit tinggi kolesterolnya. Anggapan tersebut kemudian terbantahkan oleh penelitian di beberapa universitas yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia, termasuk penelitian di Amerika Serikat.

Berbagai tudingan Parlemen Uni Eropa terhadap minyak sawit dan turunannya, justru dinilai banyak pihak karena masalah persaingan bisnis. Minyak sawit dianggap menyaingi minyak-minyak nabati lain yang diproduksi di Eropa. Sebut saja contohnya minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai.

Belum lagi, minyak sawit mentah harganya lebih murah ketimbang minyak nabati lain yang harganya cenderung lebih mahal. Produksi minyak sawit mentah juga menggunakan lahan yang lebih sedikit ketimbang memproduksi minyak nabati.

Sesungguhnya, Indonesia sudah beberapa kali memenangkan perkara pembatasan ekspor CPO tersebut. Namun, Uni Eropa tetap bersikeras untuk melakukan pembatasan penggunaan produk turunan CPO.

CPO sendiri, merupakan salah satu penyumbang ekspor bagi Indonesia, yakni sekitar 12 persen. Belum lagi, banyaknya tenaga kerja yang menggantungkan diri dari sektor perkebunan CPO ini. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahkan menyebut ada sedikitnya 30 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari CPO.

30 juta itu, ada yang merupakan murni petani kelapa sawit. Ada juga pedagang, termasuk pula pengumpul limbah sawitnya. Jika CPO bermasalah pergerakan pasar ekspornya, dikhawatirkan para petani sawit akan berubah haluan mencari mata pencaharian lain dan membabat hutan lagi.

Kampanye negatif Uni Eropa terhadap CPO dan turunannya, tentu saja merugikan Indonesia. Maka wajar, sebagai Meteri Perdagangan, Enggar berani pasang badan menggertak Uni Eropa dengan sikapnya yang kukuh. Enggar menyatakan, jika selama ini Indonesia terkesan selalu bersikap defensif, kini saatnya melawan. Jika cara negosiasi yang dilakukan menemui jalan buntu, maka gertakan kini menjadi pilihan.

Sekarang, jika gertakan dilakukan dengan menghentikan pembelian pesawat baik Airbus maupun Boeing, kira-kira apakah cukup signifikan? Sekarang coba kita hitung, berapa banyak pesawat yang dibutuhkan oleh Indonesia dan berapa dana yang akan mengalir dari pembelian pesawat itu.

Industri penerbangan di Indonesia memang terus bertumbuh. Dengan jumlah penduduk 252 juta orang, maka penumpang udara di Indonesia dalam satu dekade terakhir juga terus meningkat tajam. Bahkan beberapa analis penerbangan di Tanah Air memperkirakan jumlah penumpang udara di Indonesia pada 2019 akan bisa menembus kisaran 100 juta penumpang. Itu baru moda transportasi udara di pasar domestik saja.

Pemerintah pun saat ini semakin intensif membangun bandara baru yang besar. Cotohnya, New Yogyakarta International Airport di Kulonprogo Jogya yang kini sedang berproses dan ditargetkan beroperasi pada 2020. Begitu juga, ada Bandara Aero Space Park komprehensif di Kertajati Majalengka Jawa Barat yang beroperasi Juni 2018. Begitu pula, rencana pembangunan bandara Bali Utara di Buleleng, Bali.

Menambah bandara baru, jumlah penumpang yang terus bertumbuh, tentu saja perlu ditopang dengan armada pesawat. Sejumlah maskapai, sebut saja Lion Air, tahun lalu sudah memesan lebih dari 200 pesawat jenis Boeing 737 Max. Sebuah angka pemesanan pesawat yang sangat fantastis tentunya. Juga, Citilink, anak perusahaan penerbangan berplat merah Garuda Indonesia, juga memesan sekitar 25 Airbus 320 Neo.

 

Tahun ini pun, Lion Air akan menambah 36 pesawat untuk meningkatkan operasional perusahaannya. Jenis armada baru yang diincar adalah 20 unit ATR72 500/600, empat unit Boeing 737 MAX 9, dua unit Boeing 737/900ER, tiga unit Airbus A320, empat unit Boeing 737-800, dan tiga unit Boeing 737 MAX 8. Nilai kontrak untuk pemesanan itu, kurang lebih mencapai 6,24 miliar dolar atau Rp 85,74 triliun. Itu baru dari Lion Grup, belum termasuk maskapai 'plat merah'.

Nah, jika diplomasi antara Indonesia dengan Uni Eropa terkait perdagangan CPO betul-betul buntu, akankah gertakan untuk tak membeli pesawat produksi Eropa itu akan menjadi kenyataan?.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement