Jumat 13 Apr 2018 11:21 WIB

Gemuruh Azan dan Dentumen Lonceng Gereja di Larantuka

Larantuka sanggup menepiso kepicikan suara kidung dan adzan, konde dan kerudung.

Kampung Lamaholot  Lamakera, Nusa Tenggara Timur.,
Foto: MHR Shikka Songge
Kampung Lamaholot Lamakera, Nusa Tenggara Timur.,

                                                             *****

Umat Islam dan umat Katholik di kota kecil itu saling melakukan perjumpaan dalam kehidupan sosial, baik di pasar, pelabuhan, kantor, sekolah. Kami di sana hidup rukun damai dan tidak saling mengusik. Kehidupan kota tidak terganggu.

Apakah umat Katholik terganggu dengan suara azan? Sepanjang saya lihat tidak ada umat Katholik yang mempersoalkan. Belum lagi bulan ramadhan ayat suci Al-Qur’an dikumdangkan setiap Maghrib dan subuh tiba. Tidak ada umat Katholik yang terusik. Kenapa di sini (di Jakarta) ada yang mengaku muslim nasionalis yang merasa terusik?

Sekitar pertengahan tahun 2017 yang lalu, saya mendampingi kunjungan Menteri Agama RI, Bapak Lukman Hakim Syaifuddin ke Lamakera dalam rangka peresmian 124 Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah se-NTT yang berpusat di Lamakera. Saat itu bersamaan dengan hari ketiga meninggalnya adik kandung mama saya.

Kebiasaan adat kami Lamaholot semua handai tolan, kerabat tetangga datang dan membawa apa yang bisa mereka bawa untuk membantu dan menolong keluarga dalam urusan kedukaan. Tetangga yang Katholik pun datang, teman kantor pun datang. Di dapur saya melihat banyak ibu berpartisipasi, baik yang berjilbab maupun yang tidak. Mereka membaur saling membantu memasak melayani para pelayat yang membanjiri rumah duka.

Sekitar tahun 2003 saya bersama keluarga, beserta umat Islam sekota Larantuka menunaikan sholat Idul Fitri di halaman Kantor Kepala Daerah Kabupaten Flores Timur. Posisi Kantor Bupati persis di lereng Gunung Ile Mandiri dan berada di tengah Perkampungan Umat Katholik Labao. Gemuruh takbir, shalawat, bacaan imam, dan khotbah berkumandang terbuka melalui pemancar  pengeras suara menembus rumah-rumah saudara umat Katholik di sekitar situ. Dan satupun mereka tidak ada yang protes.

                                                             ******

Sebagai alumnus fakultas Ushuludiin UIN Kalijaga kami dulu hanya berbicara filsafat agama dan perbandingan agama di ruang kuliah bersama para guru besar. Namun, pada hari itu saya temukan suatu pengakuan akan otentitas dan ketulusan perjumpaan peradaban agama di Kota Larantuka.

Mayoritas ummat Katolik merelakan halaman kantor bupati untuk minoritas Muslim menunaikan sholat Idul Fitri. Agama tidak hanya memperdebatkan wacana di mana Tuhan, di mana surga dan neraka, dan kebenaran agama masing-masing. Lebih dari itu, misi kemuliaan agama ialah memberikan ruang perjumpaan manusia yang berbeda pandangan, menghargai perbedaan keyakinan setiap orang untuk menyelenggarakan peribadatan sesuai keyakinan, itulah puncak keberagamaan.

Semoga saudara-saudari, kakan arin Lamaholot di Larantuka Flores Timur, terus sanggup menjadi percontohan atau pelajaran atas perjumpaan setiap perbedaan keyakinan dan pandangan keagamaan. Bahkan sanggup menjadi solusi atas kepicikan yang menegangkan antara suara kidung dan adzan, antara konde dan kerudung.

Dan kita menjadi titik tengah yang menjamin terselenggaranya perjumpaan pandangan keberagamaan, sebagaimana nama negeri kita Larantuka, yaitu ‘Jalan Tengah.’

 

*MHR. Shikka Songge
, Direktur Lembaga Kajian Pengembangan Muballigh Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement