REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menegaskan lembaganya tidak pernah mengusulkan agar Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). "Kami tegaskan hal tersebut tidak benar. KPK tidak pernah menyimpulkan apalagi mengusulkan agar Kepala Daerah dipilih oleh DPRD," kata Febri di Jakarta, Selasa (10/4).
Menurut Febri, korupsi dapat terjadi saat Kepala Daerah dipilih oleh DPRD ataupun dipilih oleh rakyat secara langsung. "Jadi, tidak tepat jika kami mengkambinghitamkan sistem Pilkada langsung yang sudah kita pilih sebelumnya sebagai salah satu bentuk proses demokrasi di Indonesia seolah sebagai penyebab korupsi," ucap Febri.
Ia menyatakan apabila biaya kontestasi politik tinggi yang jadi masalah, maka tentu hal itu yang harus diselesaikan. "Bukan justru kembali ke masa lalu dengan menyerahkan pemilihan Kepala Daerah pada anggota DPRD setempat," ungkap Febri.
Apalagi saat ini, kata dia, sekitar 122 anggota DPRD telah diproses KPK dalam kasus korupsi. KPK sudah membuktikan dalam sejumlah kasus yang ditangani bahwa kewenangan pembentukan regulasi, anggaran, dan bahkan pengawasan diselewengkan dengan imbalan sejumlah uang.
"Kami tentu harus lebih cermat dan mendalam dalam melakukan kajian sebelum menyimpulkan sesuatu," kata Febri.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri sepakat akan mengevaluasi pelaksanaan Pilkada langsung, apakah memberikan dampak positif bagi masyarakat. Terutama yang sudah berjalan sejak 2015, 2017, dan akan berlangsung pada 2018.
"Terkait Pilkada langsung, kami evaluasi ternyata banyak masalah yang dihadapi. Kami minta kelompok masyarakat untuk melihat kembali apakah Pilkada langsung memberikan manfaat bagi masyarakat," kata Ketua DPR RI Bambang Soesatyo usai menerima kunjungan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (6/4).
Ia mengatakan, jika Pilkada langsung memberikan manfaat maka silahkan dilanjutkan. Namun, kalau tidak maka perlu dievaluasi karena institusinya tidak mau pelaksanaan Pilkada menyebabkan perpecahan masyarakat.
Selain itu menurut dia, dalam Pilkada, korupsi semakin banyak karena biaya politik tinggi, misalnya, untuk mendapatkan tiket maju dalam kontestasi Pilkada. "Untuk mendapatkan tiket saja harus mengeluarkan biaya yang luar biasa besar, belum biaya kampanye, biaya saksi dan biaya penyelenggaraannya hampir Rp 18 triliun," ujarnya.
Bambang mengatakan setelah pelaksanaan Pilkada 2018, institusinya akan mengevaluasi pelaksanaan semua Pilkada lalu hasilnya akan dikembalikan kepada masyarakat.