Selasa 10 Apr 2018 08:14 WIB

Pasien Dirugikan Metode Cuci Otak Bisa Mengadu ke Sini

Dari 40 ribu pasien yang sudah diobati Terawan, ada yang berhasil dan gagal.

Rep: Adysha Citra Ramadhani/ Red: Indira Rezkisari
Dokter Terawan Adi Putranto
Foto: Youtube
Dokter Terawan Adi Putranto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama Dr dr Terawan Agus Putranto SpRad(K) melambung seiring dengan keberhasilannya membantu puluhan ribu pasien strok dengan metode cuci otak. Akan tetapi, metode ini ternyata tak selamanya berhasil pada setiap pasien.

"Tentang masalah 40 ribu orang yang sudah diobati, tentu kita harus ingat ada yang berhasil juga ada yang gagal," terang Ketua Umum PB Idi Prof Dr Ilham Oetama Marsis SpOG di kantor PB IDI, kemarin (9/4).

Hanya saja, Marsis mengatakan bukan ranah IDI untuk mengusut penyimpangan dalam prosedur pengobatan. Marsis mengatakan jika ada pasien yang merasa tidak puas atau mengalami kejadian negatif terkait prosedur pengobatan bisa mengajukan aduan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

"Kalau Anda dirugikan suatu prosedur, Anda berhak lakukan pengaduan (ke MKDKI)," lanjut Marsis.

Terkait metode pengobatan cuci otak yang belum menjalani uji klinis dengan tim Health Technology Assessment (HTA), Marsis mengatakan hal tersebut juga bukan ranah IDI. Marsis mengatakan standar pelayanan dan prosedur merupakan wewenang Kementerian Kesehatan RI. Seandainya Kementerian Kesehatan RI belum menyatakan suatu prosedur menjadi standar pelayanan, secara praktik prosedur tersebut belum boleh dilakukan.

"Harus melalui uji klinis lanjutan agar bisa diterapkan ke masyarakat. Itu bukan wewenang IDI, wewenang HTA," tukas Marsis.

Ketua Dewan Pakar PB IDI Prof Dr dr Abdul Razak Thaha MsC SpGK mengatakan ketika seorang dokter menemukan prosedur pengobatan baru, dokter tersebut seharusnya melapor kepada tim HTA. Seandainya dokter yang bersangkutan tidak melapor, tim HTI yang perlu mengambil inisiatif untuk jemput bola.

Abdul mengatakan HTA memang dibentuk untuk melindungi masyarakat. Apabila terjadi sesuatu pada pasien akibat prosedur yang belum disetujui melalui uji klinis, HTA juga turut bertanggungjawab. "Jadi kalau terjadi sesuatu gara-gara ini yang tanggung jawab adalah HTA, bukan IDI," jelas Abdul.

Oleh karena itu, rapat Majelis Pimpinan Pusat (MPP) yang digelar pada Ahad kemarin mengeluarkan rekomendasi penilaian untuk tindakan terapi dengan metode DSA atau cuci otak yang diusung Terawan. Penilaian ini dilakukan oleh tim HTA dari Kementerian Kesehatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement