Selasa 10 Apr 2018 00:30 WIB

UNBK: Antara Kejujuran, Gengsi, dan Digitalisasi Pendidikan

Dalam hal implementasi UNBK terasa masih banyak kekurangan yang mesti segera dibenahi

Satriwan Salim
Foto: dok. Pribadi
Satriwan Salim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satriwan Salim *)

Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun ajaran 2017/2018 sudah mulai dilaksanakan. Untuk jenjang SMK sudah terlaksana pada 2-5 April 2018. Sedangkan jenjang SMA/MA akan dilaksanakan 9-12 April 2018. Terakhir di tingkat SMP/MTs pada 23-26 April 2018.

   

UNBK sebagai bentuk digitalisasi tes siswa (computer based test), yang sebelumnya berbasis kertas & pensil (paper base test) atau UNKP (Ujian Nasional Berbasis Kertas dan Pensil). Kehadiran UNBK diharapkan mampu mengurangi tingkat kebocoran soal dan kecurangan seperti waktu pelaksanaan UN yang acap kali terjadi. UNBK juga memotivasi sekolah-sekolah untuk menyediakan sarana-prasarana berupa komputer dan pengelolaan berbasis TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) serta mendorong peningkatan literasi siswa/guru berbasis teknologi digital.

   

UNBK adalah cara baru yang dibuat pemerintah sebagai bagian dari ujian akhir bagi siswa telah dimulai pada 2015. Pada awal UNBK 2015 telah mengikutsertakan sebanyak 556 sekolah yang terdiri dari 42 SMP/MTs, 135 SMA/MA, dan 379 SMK di 29 provinsi dan luar negeri. Pada tahun 2016 dilaksanakan UNBK dengan mengikutsertakan sebanyak 4.382 sekolah yang tediri dari 984 SMP/MTs, 1298 SMA/MA, dan 2.100 SMK. Jumlah sekolah yang mengikuti UNBK tahun 2017 melonjak tajam menjadi 30.577 sekolah yang terdiri dari 11.096 SMP/MTs, 9.652 SMA/MA dan 9.829 SMK (Kemdikbud, 2018).

   

Jujur kita harus mengapresiasi niatan pemerintah untuk melakukan komputerisasi UN siswa, dengan berbagai tujuan mulia di atas. Tingkat integritas (kejujuran) pelaksanaan UNBK mengalami kenaikan, walaupun untuk hasil UNBK trennya menurun. Bagi saya ini taklah menjadi soal, karena orientasi kita lebih pada proses pelaksanaan ujian yang berintegritas, ketimbang sekedar hasil akhir.

Implementasi UNBK dan kesulitannya

Dalam hal implementasi UNBK terasa masih banyak kekurangan yang mesti segera dibenahi. Alih-alih ingin digitalisasi tes siswa dan pemanfataan TIK, yang terjadi adalah sekolah-sekolah yang belum mampu menyediakan komputer/laptop dan prasyarat teknis UNBK lainnya di sekolah justru merasa didiskriminasikan. Bahkan dengan “terpaksa”, bagaimanapun caranya para kepala sekolah; meminjam laptop siswa, guru, orang tua, masyarakat bahkan menumpang di sekolah terdekat agar sekolahnya tetap melaksanakan UNBK tadi. Bagi sebagian kalangan (mungkin pemerintah) ini dianggap dapat memacu dan mendorong sekolah untuk memperbaiki sarana, menyediakan kelengkapan berbasis TIK (yang sebenarnya semua itu tanggung jawab utama pemerintah memenuhinya).

   

Maksudnya begini, kita harus bicara apa adanya bahwa wilayah Indonesia yang sangat luas ini, terdiri dari kurang lebih 415 kabupaten dan 93 kota dengan karakteristik demografis, geografis dan akses infrastruktur yang begitu beragam. Mulai dari kota seperti Jakarta sampai kepada pelosok daerah yang dikenal dengan 3T (terluar, terdepan dan tertinggal).

Kemampuan dan finansial daerah (sekolah) itu bermacam-macam. Di Pulau Jawa saja masih ada daerah yang belum mampu melaksanakan UNBK karena keterbatasan tadi. Menurut data, sebesar 34,6 persen sekolah (di semua jenjang) memilih tetap melaksanakan UNKP, 16,5 persen UNBK dengan menumpang di sekolah lain. Secara nasional yang sudah mengikuti UNBK penuh mandiri sebesar 48,9 persen sekolah. Demikian data yang terbaca sampai hari Minggu malam, 8 April 2018 di situs Kemdikbud (https://unbk.kemdikbud.go.id/).

Jangankan bicara komputer dan jaringan internet di sekolahnya, wong gurunya saja hanya seorang di sekolah yang bangunannya hampir roboh pula. Ditambah akses jalan menuju sekolah yang sangat sulit, berbahaya dan butuh waktu tempuh berjam-jam. Ini bukan ilusi di negeri merdeka ini, tapi fakta yang mencemaskan kita sebagai anak bangsa. Potret sekolah dan perjuangan siswa/guru menuju sekolah serupa yang dikisahkan Andrea Hirata di Film Laskar Pelangi (2008) itu masih tetap ada, bukan mengada-ada.

Di beberapa daerah 3T, cerita bahwa siswanya mau bersekolah saja (datang dan sampai di sekolah) sudah alhamdulillah, sebab akses yang sulit dan berbahaya. Bicara 8 standar nasional pendidikan; standar isi, proses, kompetensi lulusan, penilaian (disediakan dan diatur pemerintah) mungkin taklah begitu berat memenuhinya.

Guru dan sarana-prasarana

Tapi untuk standar sarana-prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pembiayaan dan pengelolaan, rasa-rasanya akan sulit memenuhinya secara sempurna. Sebab empat (4) hal terakhir ini bicara kualitas guru, kelengkapan fasilitas dan sarana sekolah. Untuk kualitas guru saja menjadi perhatian serius hingga kini, seperti yang dilaporkan Bank Dunia dan dikeluhkan banyak kalangan.

Lalu kita teringat lagi Keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait Pelaksanaan Ujian Nasional No. 2596K/PDT/2008 yang menyatakan bahwa pemerintah telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban Ujian Nasional (UN) khususnya hak atas pendidikan dan hak-hak anak.

MA memerintahkan kepada para tergugat yakni pemerintah untuk; meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut.

Berkaca pada putusan lembaga peradilan tertinggi itu, yang usianya berjalan sepuluh (10) tahun, kita terus mendorong pemerintah terus memenuhi setidaknya standar sarana-prasarana dan standar pendidik dalam hal ini. Walaupun idealnya semua standar nasional pendidikan tersebut harus terus terpenuhi secara ideal.

UNBK dan kejujuran kita

Di satu sisi keberadaan UN yang selama bertahun-tahun dinilai sebagai penentu kelulusan siswa, telah diubah oleh Mendikbud Anies Baswedan pada 2015. Sejak saat itu keberadaan UN (BK) tidak lagi begitu “menakutkan” bagi siswa. Sebab bukanlah penentu kelulusan satu-satunya.

Di sisi lain, walaupun UNBK bukan lagi penentu mutlak kelulusan siswa, apakah sekolah, orangtua siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidikan sampai kepala daerah dan pemerintah pusat tidak serius menyelenggarakan/mengikuti UNBK? Jawabannya tetap serius. Bahkan makin serius tampaknya. Itu terlihat dari usaha sekolah (daerah) apapun caranya menyiapkan komputer seperti diceritakan di atas.

Dari segi persepsi siswa, guru, orang tua, sekolah dan pemerintah terhadap UN (BK) tampaknya juga belum berubah. UNBK tetap diseriusi, proyek rutin tahunan pemerintah, berbiaya besar, dan selalu menentukan kredibilitas atau integritas sekolah tersebut. Yang berarti hasil capaian UNBK akan menjadi tolok ukur kualitas satuan pendidikan tersebut.

Bahasa lainnya, sedari dulu hasil UN (BK) itu selalu menjadi prestise (kalau tak dibilang gengsi) yang tinggi bagi sekolah sampai kepala daerah. Hasil UNBK memengaruhi dan membentuk wibawa mulai dari guru, siswa, orang tua, kepala sekolah, pengawas, kepala dinas pendidikan sampai kepala daerah.

Dari segi pembiayaan, pelaksanaan UNBK pun sepertinya makin besar. Walaupun tersedia dan dimbil dari dana BOS. Pembiayaan yang khas UNBK (di era UN tertulis belum ada) mencakup; honor proktor, teknisi, biaya sinkronisasi, pengadaan modem, biaya pengamanan 24 jam agar komputer atau laptop tidak dicuri, biaya penambahan daya bagi sekolah yang belum memenuhi minimal daya listrik, biaya penyediaan jenset dan solar untuk berjaga-jaga ketika listrik mati. Belum termasuk honor dan konsumsi panitia, pengawas dan biaya try out UNBK yang berkali-kali dilakukan sebelumnya. Bagaimana dengan sekolah swasta yang kurang mampu? Hanya Allah dan kepala sekolahnya yang tahu.

Memang kita harus menginsafi, makin canggih dan modern pelaksanaan pendidikan, rasa-rasanya makin mahal biayanya. Sekolah-sekolah dan daerah yang masih terkendala karena keterbatasan sarana dan fasilitas tadi harusnya jujur saja. Jangan memaksakan kelengkapan fasilitas itu, apalagi demi gengsi sekolah, merasa sekolahnya “rendahan” kalau belum mengikuti UNBK.

Bukankah salah satu tujuan UNBK itu ingin melatih siswanya berpikir dan bertindak jujur, mengutamakan kejujuran? Jika demikian wahai para guru, kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, kepala daerah sampai pemerintah pusat, mulailah jujur, terbuka dan bersikap apa adanya, jika masih banyak sekolah yang belum mampu memenuhi sarana dan fasilitas UNBK! Dan kita dukung pemerintah untuk segera memenuhinya.

*) Pengajar di Labschool Jakarta-UNJ dan Wasekjen FSGI, Email: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement