Senin 09 Apr 2018 05:47 WIB

Trio Putin-Erdogan-Rouhani Permalukan Arab

Pertemuan trio pemimpin negara non-Arab ini makin menunjukkan Arab yang suram.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Sebuah konferensi tingkat tinggi (KTT) telah diselenggarakan di Ankara, Turki, pada Rabu lalu (04/04). Agenda besar konferensi membahas masa depan Suriah. Yang menarik, tak seorang pun dari pihak Suriah — baik Presiden Bashar Assad dan rezimnya maupun kelompok-kelompok oposisi — yang terlibat dalam konferensi.

Juga para pemimpin Arab. Tak ada satu pun dari mereka yang menghadiri KTT itu. Justru yang menjadi aktor utama KTT adalah Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Iran Ayatullah Hassan Rouhani.

Ketiga negara itu bukan Arab. Turki dan Iran memang bagian dari Timur Tengah tapi bukan Arab. Sedangkan Rusia berada di ujung dunia, ribuan kilometer dari Suriah. Sedangkan Suriah sendiri merupakan anggota Liga Arab -- beranggotakan 22 negara dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa.

Seorang pengamat Timur Tengah menyebut KTT trio presiden bukan Arab yang membahas salah satu negara Arab jelas menggambarkan kondisi Suriah yang acakadut.  Juga kondisi para pemimpin dunia Arab itu sendiri. Seolah trio pemimpin bukan Arab itu ingin mempermalukan para pemimpin Arab.

‘’Lihatlah, wahai para pemimpin Arab!  Boro-boro kalian menyelesaikan masalah Suriah, persoalan Palestina saja yang sudah berlangsung selama puluhan tahun tidak bisa kalian selesaikan.’’

Pengamat tadi dari Saudi, bernama Masyary al-Thaidy. Menurutnya, melihat foto atau video yang memperlihatkan trio Erdogan-Putin-Rouhani tersenyum – saat konferensi pers usai KTT -- justru menunjukkan kondisi dunia Arab yang suram.‘’Hari ini kami mengumumkan secara resmi berakhirnya perang di Suriah,’’ ujar  Rouhani.

‘’Kami sepakat bekerja sama menyelesaikan krisis Suriah,’’ kata Putin.

‘’ISIS dan semua kelompok teroris serta yang mendukung mereka tidak dapat berkontribusi pada pembentukan perdamaian abadi di Suriah,’’ Erdogan menjelaskan.

Kata ‘teroris’ dari Erdogan itu merujuk pada kelompok-kelompok Kurdi yang selama ini berjuang menuntut kemerdekaan dari Turki. Mereka menggunakan wilayah perbatasan dua negara — Turki-Suriah — sebagai basis perjuangan. Amerika Serikat (AS) selama ini dianggap mendukung perjuangan Kurdi. Itulah sebabnya AS tidak dilibatkan dalam KTT tripartit itu, meskipun mereka ikut memerangi sebuah kelompok yang menamakan diri Negara Islam (ISIS).

Ketiga negara — Turki, Rusia, dan Iran — sebenarnya mempunyai banyak perbedaan. Iran adalah Syiah, Turki merupakan negara Suni, sedangkan Rusia negara komunis yang kini jadi sekuler. Rusia dan Iran sejak awal mendukung rezim Bashar Assad.

Sementara itu, Turki mendukung kelompok-kelompok oposisi sejak muncul konflik di Suriah tujuh tahun lalu. Hanya satu yang menyamakan ketiga negara itu, masing-masing mempunyai kepentingan di Suriah.

Dukungan Iran kepada rezim Presiden Assad sebagai upaya untuk membuka jalur Syiah: Iran-Irak-Suriah-Lebanon (Hizbullah). Presiden Assad adalah Syiah, sedangkan mayoritas warga Suriah adalah Suni.

Di pihak lain, Putin — yang masih dalam eforia kemenangan atas terpilihnya kembali sebagai Presiden Rusia — berambisi untuk menebar pengaruhnya di Timur Tengah melalui Suriah. Pengaruh yang selama ini didominasi oleh AS. Ia sangat membutuhkan dukungan Erdogan untuk memberikan ‘perlindungan’ yang diperlukan melawan tuduhan bahwa intervensi Rusia di Suriah adalah perang terhadap umat Islam.

Apalagi serangan pasukan Suriah yang didukung penuh militer Rusia — baik udara, darat, maupun laut — telah menewaskan puluhan ribu warga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement