REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Pusat Pengkajian, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (P4W LPPM IPB) berkolaborasi dengan Forest Watch Indonesia, Kaum Telapak, CFES (Community Forest Ecosystem Services) mengadakan kegiatan Ekspose Program Pemulihan Ekosistem di Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung.
Kegiatan yang dilangsungkan di Agrowisata Gunung Mas Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, pekan ini, bertujuan memaparkan keadaan kawasan dan usaha-usaha yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi ekologi Hulu DAS Ciliwung kepada masyarakat umum, para pemangku kebijakan dan media massa.
Ketua Pelaksana kegiatan Putri Cantika menyampaikan, bencana yang kerap terjadi baik di hulu maupun di hilir Ciliwung menunjukkan bahwa kawasan DAS Ciliwung telah rusak dikarenakan daya dukungnya semakin turun.
“Dari tahun ke tahun pemberitaan selalu ada mengenai banjir di kawasan Hilir Ciliwung Jakarta, maupun hulu. Banyak kejadian longsor di kawasan Puncak, teman-teman di lapangan menemukan banyak sekali retakan yang berpotensi longsor. Permasalahan terkait Puncak dan Hulu DAS Ciliwung merupakan permasalahan yang bersifat multidimensional, sehingga dibutuhkan penyelesaian secara bersama-sama dengan melibatkan berbagai pihak dan stakeholder,” ujarnya dalam rilis IPB yang diterima Republika.co.id, Ahad (8/4).
Hal senada juga diungkap Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr, kepala P4W LPPM IPB yang juga Ketua Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak atau disebut "Konsorsium Save Puncak" atau "Konsorsium Puncak". “Akibat telah terlampauinya daya dukung lingkungan, kawasan puncak setiap tahunnya terus mengalami kejadian longsor. Untuk tahun 2018 ini, hingga per 5 Februari 2018, Tim Konsorsium Puncak setidaknya sudah mencatat terdapat 55 titik longsor di dua desa di kawasan puncak. Kedua desa di Hulu DAS Ciliwung tersebut yaitu Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan,” kata Dr Ernan.
Penyebab terlampauinya daya dukung lingkungan puncak adalah pemanfaatan ruang termasuk aktivitas permukiman dan villa, kebun sayur dan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Peluang terjadinya longsor sangat tinggi di musim hujan, khususnya pada saat adanya kejadian cuaca-cuaca ekstrem di kawasan ini.
“Konsorsium Puncak mempromosikan dukungan bagi petani-petani yang memanfaatkan kawasan hutan beralih dari tanaman semusim seperti sayuran dan aktivitas yang tidak ramah lingkungan beralih ke budidaya kopi dan aktivitas-aktivitas yang ramah lingkungan,” papar Dr Ernan. Budidaya kopi dan pengolahannya menjadi kopi premium, lanjut Dr Ernan, di samping lebih ramah lingkungan memberi manfaat ekonomi yang signifikan bagi petani lokal.
Menurut Ernan, kawasan Puncak adalah bagian dari area "Cagar Biosfer Cibodas" sebagaimana diratifikasi pemerintah RI dan United Nations Educational Scientific Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 1977. Kawasan ini dipromosikan sebagai kawasan yang dijaga keseimbangan antara manusia dan ekosistemnya karena kekayaan keragaman ekosistemnya.
Hadir berbagai stakeholder seperti Pemerintah Kabupaten Bogor, kepala desa, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup maupun pihak swasta dan kelompok masyarakat dalam program ini. Kegiatan ini dilanjutkan dengan penandatanganan nota kesepahaman dan kesepakatan untuk pemulihan Hulu DAS Ciliwung oleh berbagai pihak di antaranya perwakilan Kabupaten Bogor, Perum Perhutani KPH Bogor, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Citarum Ciliwung, Perusahaan Perseroan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Gunung Mas, PT Sumber Sari Bumi Pakuan, Kepala Desa Tugu Utara dan Kepala Desa Tugu Selatan serta Perwakilan Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak.