Sabtu 07 Apr 2018 07:37 WIB

3 Kebiasaan yang Bikin Korupsi Dianggap Lumrah

Sistem politik tak memberikan hukuman yang menjerakan bagi pelaku politik uang.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Budi Raharjo
Demo Anti Korupsi (Ilustrasi)
Foto: Fanny Octavianus/Antara
Demo Anti Korupsi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ahli Budaya Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sukron Kamil, memberikan pemaparan soal korupsi di negeri ini dari sudut pandang budaya. Menurutnya, ada beberapa hal terkait kebiasaan yang membuat unsur perbuatan korupsi dianggap sebagai perilaku yang lumrah. Dampaknya "penyakit menahun" korupsi ini sulit disembuhkan.

Sukron memaparkan, secara kebudayaan, masyarakat memang masih belum kuat melihat korupsi sebagai sesuatu yang diharamkan. Di titik inilah, menurutnya, ada pemahaman yang salah kaprah dengan dalih berlandaskan agama. Misalnya pertama soal rezeki.

Beberapa kalangan, di antaranya Aparatur Sipil Negara, menganggap rezeki yang datang dari mana saja tidak boleh ditolak. Akibat pemikiran ini, semua bentuk pemberian uang diterima secara serta-merta karena merasa itu sebagai rezeki yang tak boleh ditolak.

"Misalnya di kalangan PNS itu seolah menganggap bahwa menolak rezeki itu dilarang dalam Islam. Padahal rezeki yang mana, kalau jelas hasil korupsi ya tolak saja. Jadi di kebudayaan kita ini ada rujukan keyakinan yang salah," tutur Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah ini kepada Republika.co.id.

Hal berikutnya yang disorot yakni soal ikhlas. Menurut Sukron, masih banyak masyarakat yang berpandangan bahwa ikhlas seperti buang air. Misalnya, seorang tokoh agama diberikan uang oleh negara lain untuk keperluan pondok pesantren binaannya. Setahun berikutnya, tokoh agama itu dimintai pertanggungjawaban terkait uang yang diberikan.

Namun, si tokoh agama malah menganggap pemberian tersebut tidak ikhlas karena ditanyakan lagi. "Jadi akuntabilitas dengan keikhlasan dianggap berbeda, ikhlas dipandang seperti buang air, jangan menanyakan lagi kalau sudah memberi. Padahal pemberian dalam hal uang negara tetap harus dipertanggungjawabkan," paparnya.

Ketiga, Sukron menjelaskan, ada pemahaman yang keliru terhadap hadiah dan suap dalam konteks masa pemilihan umum. Umpamanya, ada seorang peserta pemilu yang sedang mencari dukungan dari elite. Kemudian, orang tersebut meminta dukungan dari seorang tokoh agama dan memberikannya sesuatu.

Menurut Sukron, itu berbahaya karena ada upaya mendapatkan legitimasi dari seorang tokoh. Terlebih jika pemberian tersebut tidak dianggap sebagai politik uang tapi hadiah.

Sukron mengatakan, sistem politik saat ini tidak memberikan hukuman yang menjerakan bagi mereka yang melakukan politik uang. Hal ini berbeda dengan negara lain seperti Hong Kong yang langsung mendiskualifikasi pelaku politik uang. Namun, dia juga mengakui, aturan terkait kepemiluan saat ini makin ketat dan ada sanksi berat bagi pelanggar.

Kendati demikian, Sukron agak menyangsikan aturan tersebut dapat berjalan maksimal karena penegak hukum pun kerap lemah dalam penindakan. Bahkan, lanjutnya, di dalam budaya hukum sekarang, tidak sedikit para penegak hukum yang justru memperlihatkan perilaku pelanggar aturan. "Saya kira itu rahasia umum," kata Sukron.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement