REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Jaya mempertanyakan minuman keras (miras) oplosan yang masih beredar di pasaran dan mengakibatkan korban jiwa. Ketua PDSKJI Jaya Nova Riyanti Yusuf menyalahkan mengapa miras oplosan masih ada.
"Jadi seharusnya pihak-pihak (pemerintah) yang melihat miras oplosan menyebabkan meninggal bertanggung jawab dan harus menertibkan," ujarnya, Jumat (6/4).
Ia menceritakan, saat dulu ia menjadi wakil ketua komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2009-2014, anggota dewan sudah memprotes masalah keamanan pangan dan pengawasan pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, kata dia, pemerintah beralasan ini kerja sama lintas sektor. Tak hanya itu, kata dia, mereka beralasan kurangnya personel untuk mengamankan miras oplosan ini.
Nova mengakui, memang dibutuhkan kerja lintas sektor seperti kepolisian, pihak BPOM hingga pelabuhan yang menjadi pintu masuk miras oplosan untuk mengatasinya. Namun, terkait persoalan jumlah aparat kurang bisa ditambahi.
"Kalau kurang personel ya tambahi (jumlahnya), toh banyak juga uang yang beredar di pemerintah. Jumlah masyarakat juga hampir 260 juta jiwa," katanya.
Ia menambahkan, ini memang persoalan mentalitas pemerintah yang tidak mengamankan pangan yang ada di pasaran. Padahal, kata dia, dibutuhkan pengawasan obat dan makanan maupun minuman oplosan yang berbahaya beredar. "Jadi jangan rakyatnya terus yang dipertanyakan kejiwaannya. Pemerintah tolong berkaca lah, faktanya kenapa barang itu beredar," ujarnya.
Korban miras oplosan seakan tidak pernah habis-habisnya. Dalam sepekan terakhir, setidaknya 24 nyawa melayang akibat menenggak miras oplosan di Jabodetabek. Sepuluh orang tewas di Jakarta Timur, delapan orang di Jakarta Selatan, empat orang di Depok, dan dua orang di Kota Bekasi. Mereka diketahui membeli dan menenggak miras beralkohol sejak Sabtu (31/3) hingga Ahad (1/4).