Rabu 04 Apr 2018 10:39 WIB

Menteri LHK Urai Langkah Koreksi Sektor Kehutanan

Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) merupakan salah satu amanat dari Nawacita.

 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya memimpin Upacara Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni, di Plaza Gedung Manggala Wanabakti Jakarta (5/6).
Foto: dok. Humas Kemenhut
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya memimpin Upacara Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni, di Plaza Gedung Manggala Wanabakti Jakarta (5/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya hadir pada diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang bertajuk "Apa Kabar Reforma Agraria?". Di mana Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) merupakan salah satu amanat dari Nawacita yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019.

Dalam diskusi bersama media, yang dilaksanakan di Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jakarta Selasa (3/4) lalu, Menteri Siti berkesempatan menerangkan kepada media mengenai sejauh mana pelaksanaan evakusi kawasan hutan, TORA dan Perhutanan Sosial di Indonesia. Presiden Joko Widodo, dalam kebijakannya menjalankan program TORA, kerap mengedepankan untuk melakukan langkah koreksi atau corrective action, begitu juga dalam penetapan kawasan hutan bagi swasta dan masyarakat.

Dari masa lalu hingga 2017 pemerintah telah mengeluarkan ijin seluas 42.253.234 hektare kawasan baik untuk izin pengusahaan pariwisata alam atau jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan (HTI, HPH, Hutan Sosial). Pada pemerintahan terdahulu hampir 95 persen kawasan ini dikuasai oleh swasta, hanya sekitar 4,14 persen yang dikelola masyarakat.

Sehingga dilakukanlah beberapa langkah korektif terhadap kondisi ini, melalui menekan laju pemberian izin penggunaan kawasan kepada pihak swasta dan menyiapkan TORA yang akan dikelola oleh masyarakat. Sebelum dilaksanakannya TORA, kawasan hutan yang dilepas untuk rakyat hanya 12 persen dengan 88 persen swasta. Namun setelah TORA dilaksanakan, dengan mengkaji ulang seluruh ijin kawasan yang diberikan, maka saat ini pelepasan kawasan untuk TORA yang dapat dikelola masyarakat naik menjadi sekitar 41 persen, dan pemanfaatan kawasan hutan melalui Perhutanan Sosial naik menjadi sekitar 31 persen dari yang tadinya hanya dua persen.

Berdasarkan rekapitulasi hasil pelepasan kawasan hutan tercatat dari Kabinet Pembangunan hingga Kabinet Indonesia Bersatu, pemerintah telah memberi ijin sebanyak 667 unit sertifikat kepada swasta, dengan luas 6.532.327 hektare. Sementara Kabinet Kerja yang berumur dari 2014-2017 hanya memberi ijin sebanyak 36 unit keputusan kepada swasta, dengan luas kawasan sebesar 305.984 hektare.

Sebab TORA dibuat dengan tujuan untuk pemerataan ekonomi dan memperbaiki rasio gini, maka ada tiga skema yang dilakukan untuk pemerataan ini. Yaitu melalui skema Lahan sebagai aset (Land Tenure Right) yang mana dalam hal ini KLHK menyiapkan 4,8 juta hektare, dan kesempatan dalam bentuk akses legal pengelolaan hutan (Forest Tenure Right), seluas 12,7 juta hektare.

Saat ditanya dalam diskusi dengan media ini, mengenai apa perbedaan utama dari program Reforma Agraria yang dilakukan kabinet kerja saat ini dibanding dengan kabinet-kabinet sebelumnya, Menteri Siti lugas menyampaikan bahwa, pemerintah saat ini tidak hanya melakukan redistribusi lahan dan membiarkan masyarakat berdaya sendiri untuk mengelola aset mereka.

Namun, saat ini pemerintah melakukan kajian sehingga program ini haruslah memberi nilai ekonomi kepada masyaraktnya, oleh sebab itu program ini dilakukan secara kluster atau berkelompok dengan menciptakan koperasi tani hutan. Sehingga kelembagaan ekonomi terkecil ini dapat mengajukan pinjaman dalam bentuk KUR kepada lembaga keuangan dalam hal ini adalah bank-bank BUMN, sehingga masyarakat memiliki modal untuk memperbaiki ekonomi mereka.

Menteri Siti juga menuturkan bahwa peran LSM ditingkat tapak selama ini sangat membantu mengawal program TORA dan perhutanan sosial ini. "Walaupun teman-teman LSM ini sangat keras tapi mereka mengawal ini sangat baik, sehingga program ini berjalan transparan", tuturnya.

Sementara Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Bambang Supriyanto, menyampaikan, bahwa verifikasi yang dilakukan dalam program Perhutanan Sosial sangat teliti, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya calo. "Verifikasi melalui Nomor Induk Kependudukan dan kelompok masyarakat yang bertetangga, memastikan bahwa kelompok koperasi tani hutan ini adalah masyarakat kawasan hutan sesungguhnya", jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement