Selasa 03 Apr 2018 22:55 WIB

Pengamat: Prabowo tidak Gunakan Hak Komentar dengan Baik

Sebaiknya Prabowo spesifik kritik di kebijakan tertentu dan memberikan solusinya

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mendatangi kantor DPP PKS untuk melakukan pertemuan dengan Partai PAN dan PKS, Jakarta, Ahad (24/12).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mendatangi kantor DPP PKS untuk melakukan pertemuan dengan Partai PAN dan PKS, Jakarta, Ahad (24/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya menilai Gerindra sebagai pihak oposisi tidak menggunakan hak untuk berkomentar mereka dengan baik. Ia menilai, komentar yang dilontarkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto seharusnya lebih mengkritik kekurangan kebijakan.

Apabila ingin menarik suara dalam Pemilihan Presiden 2019, menurut Yunarto akan lebih efektif apabila Prabowo memberikan solusi alternatif bagi kebijakan Presiden Joko Widodo yang dianggap kontroversial. Seperti pembangunan infrastruktur yang terlalu ambisius atau masalah daya beli masyarakat.

"Akan lebih efektif di setiap kebijakan yang kontroversial dan banyak dikritik dari kebijakan pemerintah, dia bisa kemudian muncul di situ kemudian menjelaskan isu tersebut sampai secara detail dengan solusi yang berbeda," ujar Yunarto kepada Republika.co.id, Senin (2/4).

Menurut Yunarto, saat ini justru Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang melakukan langkah tersebut. Mantan Presiden RI tersebut juga lebih sering melakukan kunjungan politik ke daerah.

"Itu yang saya sayangkan. Hal yang seharusnya dilakukan Prabowo sebagai oposisi justru dilakukan oleh SBY," lanjut dia.

Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan dengan pernyataan Prabowo tentang Indonesia buat 2030. Tak lama berselang, ia kembali mengkritik pemerintah dan mengatakan elit partai bermental maling.

Hal tersebut, dinilai Yunarto adalah suatu bentuk keputusasaan pihak oposisi. "Berbicara Indonesia bubar 2030 lalu kemudian mental maling misalnya. Itu bahasa yang mencerminkan keputusasaan seorang oposisi dalam memberikan solusi," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement