REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo memiliki satu pesan penting kepada institusi TNI. Ia mengingatkan TNI, terutama Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, agar proaktif menuntaskan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan helikopter angkut AW-101 di TNI Angkatan Udara (AU) Tahun Anggaran 2016-2017. Hal itu Gatot sampaikan saat bersilaturahim ke kantor pusat PT Republika Media Mandiri, Jakarta, pekan lalu.
Saat dikonfirmasi, Gatot kembali mengingatkan, kasus korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 merupakan insubordinasi, yaitu perlawanan atau pemberontakan terhadap atasan dalam hubungan dinas. Sebab, pengadaan helikopter yang dikembangkan secara joint venture antara Westland Helicopters di Inggris dan Agusta di Italia itu sudah dilarang oleh Presiden Joko Widodo.
Larangan itu disampaikan Presiden pada Desember 2015. Sebagai tindak lanjut, Sekretaris Kabinet Pramono Anung sudah membuat surat perintah penghentian pengadaan. Mulanya, helikopter ditujukan untuk kategori VVIP. Namun, spesifikasinya belakangan diubah menjadi helikopter angkut.
Pada 9 Februari 2017, helikopter angkut AW-101 ternyata sudah terparkir di hanggar Skadron Teknik 021, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. "Saya sebagai panglima TNI juga ikut bersalah," ujar Gatot.
Kemudian, mantan panglima Komando Strategis Angkatan Darat atau biasa disingkat Kostrad itu mengaku berusaha membongkar keterlibatan oknum prajurit TNI AU. Ia bahkan melibatkan elemen masyarakat sipil dalam menginvestigasi kasus tersebut. Kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun diinisiasi oleh Gatot.
Hasilnya terbukti. Sejauh ini, Polisi Militer (POM) TNI dan KPK sudah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101.
Mereka adalah Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh, Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, pejabat pemegang kas atau pekas Letkol Administrasi WW, Pembantu Letnan Dua SS, dan asisten perencanaan kepala staf Angkatan Udara Marsda TNI SB. KPK juga sudah memeriksa mantan KSAU Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna pada awal Januari lalu.
Lebih lanjut, dia mengaku pernah ditanyakan secara langsung oleh Presiden perihal potensi kerugian negara dalam kasus tersebut. Ia mengatakan, kerugian minimal mencapai Rp 150 miliar. Presiden sendiri menilai kerugian sekitar Rp 200 miliar. Sedangkan, menurut KPK, kasus korupsi itu diketahui menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 224 miliar. "Presiden memerintahkan untuk mengejar dan saya sudah mengejar begitu jauhnya," ujar Gatot.
"Sekarang panglima TNI sekarang dong. Presiden perintahkan kepada panglima TNI yang kebetulan saat itu Gatot. Jadi, panglima TNI sekarang pun punya kewajiban untuk mengejar itu karena itu adalah perintah Presiden selaku penguasa TNI Angkatan Laut, Udara, dan Darat," ujarnya lagi.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen TNI M Sabrar Fadhilah menyatakan, pihaknya mendukung pengungkapan dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101. Pada akhirnya nanti, TNI akan menghargai hasil pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Ya, pada prinsipnya mendukung, bukan siap mengusut, karena sekarang kan masih saksi saja Pak AS (Agus Supriatna)," ungkap Sabrar, Ahad (1/4).
Sabrar menjelaskan, pihaknya juga siap mendukung proses hukum yang sedang berjalan saat ini di KPK. Ia mengaku siap jika diajak berkoordinasi untuk penyelesaian kasus tersebut dan akan menghargai hasil pemeriksaan yang dilakukan KPK.